Kamis, 28 April 2016

TGK. IBRAHIM PMTOH PENUTUR HIKAYAT ACEH DAN MELAYU NUSANTARA


TGK. IBRAHIM PMTOH PENUTUR HIKAYAT ACEH DAN MELAYU NUSANTARA

Tgk. Ibrahim Pmtoh





“Janganlah anda malu memiliki ayah seorang pembaca hikayat, seharusnya anda bangga punya ayah seorang pembaca hikayat. Ayah anda Tgk. Ibrahim Pmtoh adalah pahlawan budaya Aceh.”(Muda Balia, 2016).
            Itulah beberapa kalimat yang pernah ditulis oleh Muda Balia seorang pembaca hikayat Aceh yang pernah mendapat rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI), ketika berkenalan dan bincang-bincang dengan saya seputar perkembangan hikayat Aceh melalui media sosial pada pertengahan bulan April 2016. Terinspirasi dari kata-kata Muda Balia yang menggugah perasaan itulah tergerak hati saya untuk menulis kisah ini. Kisah perjuangan dan perjalanan karier Tgk. Ibrahim Pmtoh seorang pembaca hikayat Aceh yang patut diberikan penghargaan sebagai sosok yang telah berjasa membangun peradaban budaya Aceh dengan hikayat. 
Salah satu seni tutur Aceh yang diwariskan kepada Tgk. Ibrahim Pmtoh adalah seni budaya hikayat Aceh yang diwariskan oleh Tgk. Adnan Pmtoh pada era tahun 1980-an. Tgk. Ibrahim Pmtoh belajar memperdalam kepiawaian dalam bermain pmtoh kepada Tgk. Adnan selaku gurunya secara langsung atau tidak langsung, karena figur yang diidolakan oleh Tgk. Ibrahim dalam berkesenian ketika itu adalah sosok Haji Adnan. Pada era tahun 1980-an saat itu ketika semarak hikayat meriah dibaca di kampung-kampung dan radio-radio. Tgk. Ibrahim sering tampil gemilang menuturkan hikayat dari panggung ke panggung. Hikayat yang dibaca pada waktu itu rata-rata bertema sejarah Aceh dan hikayat yang bernafaskan Islam seperti hikayat berkisah tentang syuhada, aulia, dan pahlawan.
Tgk. Ibrahim Pmtoh merupakan pelaku seni tutur kelahiran desa Meunasah Mee, Kec. Meurah Mulia, Kab. Aceh Utara sekitar 58 tahun silam. Seorang pembaca hikayat Aceh andalan kontingen kabupaten Aceh Utara dalam even pameran pendidikan, kebudayaan, dan pembangunan. Sering mewakili Aceh Utara dalam arena Pekan Kebudayaan Aceh di Ibukota Serambi Mekkah, Banda Aceh.
Tgk. Ibrahim Pmtoh pria berpenampilan sederhana itu ketika tampil di pentas saat menuturkan hikayat juga piawai meniup bansi (seruling) dan menabuh rapa-i dengan suara beralun-alun dan bertalu-talu. Menambah keasyikan suara di sela-sela lantunan hikayat Aceh. Mendapat gemuruh suara kegirangan penonton saat menyaksikan adegan baca hikayat sebagai salah satu khazanah kejayaan budaya indatu Aceh. Hikayat merupakan salah satu warisan kebudayaan indatu (nenek moyang) orang Aceh yang sudah dikenal sejak masa kesultanan Aceh. Hikayat merupakan rumpun sastra nusantara yang dipengaruhi oleh unsur Islam merupakan salah satu karya sastra yang berasal dari Timur Tengah yang kental dengan pengaruh Arab.           
            Tgk. Ibrahim Pmtoh merupakan murid dari Tgk. Adnan Pmtoh. Pada era tahun 1990-an Tgk. Ibrahim sering mendapat dukungan dan arahan dari Bapak H. Dahlan pegawai di pemerintah Kabupaten Aceh Utara untuk mengembangkan hikayat sebagai tradisi masyarakat Aceh yang mengandung pesan-pesan moral. Adakalanya hikayat juga dibacakan di hadapan masyarakat Aceh untuk memberi nasehat dengan ungkapan-ungkapan yang halus.
         Tgk. Ibrahim juga mengoleksi Hikayat Raja-raja Pasai, hikayat yang sudah langka dan dicari-cari kolektor naskah hikayat saat ini. Namun naskah yang ada di rumah Tgk. Ibrahim itu hanya berupa naskah foto kopi yang didapatkan dari gurunya Tgk. Adnan pada tahun 1990-an. Nama Tgk. Ibrahim Pmtoh dimuat sebagai referensi pembelajaran sastra khususnya hikayat dalam buku Wajah Aceh dalam Sastra karya Hamdani, S.Pd. serta menjadi rujukan pembacaan hikayat di sekolah yang diperkenalkan oleh guru bidang studi Bahasa Indonesia.

Baca juga: Naskah Hikayat Raja Pasai; Antara Aceh dan Inggris di http://www.hermankhan.com/2016/08/naskah-hikayat-raja-pasai-antara-aceh.html
Tgk. Ibrahim Pmtoh
     Berikut dibahas mengenai asal usul nama Pmtoh
1.    Mengenal Pmtoh
Pmtoh adalah suatu genre (jenis) seni tutur Aceh hasil karya Tgk. Adnan Pmtoh. Dalam tulisan ini penulis ingin mencatat bahwa Pmtoh merupakan asli milik kepunyaan masyarakat Aceh. Bukan milik hasil kreativitas daerah lain dan bukan pula milik kreativitas masyarakat dunia Eropa atau Amerika. Di sini kita perlu menulis “surat budaya” dengan stempel basah bahwa pmtoh itu merupakan milik tulen kebudayaan Aceh. Ihwal itu berdasarkan persepsi pertimbangan bahwa saat ini Pmtoh sudah menembus pasar internasional yang dikembangkan oleh beberapa orang berkebangsaan Eropa dan Amerika. Kita khawatir suatu ketika nanti Pmtoh diberi label (merk) dan dianggap kepunyaan keseniaan Eropa dan Amerika. Seperti kasus seudati dan saman Aceh yang pernah menggema di beberapa negara Eropa dan kini menjadi pelajaran ekstrakurikuler di setiap sekolah yang ada di Daerah Khusus Ibu (DKI) Kota Jakarta. Seudati dan saman sering mendapat gemuruh tepuk tangan penonton saat dipentaskan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) maupun di balai pertujukan lainnya. Demikian pun, seudati dan saman adalah asli milik masyarakat Aceh yang kini menjadi bagian dari kekayaan budaya nasional.
Sekali lagi kita tegaskan bahwa Pmtoh itu asli kreativitas Tgk. Adnan yang pada mulanya muncul dan dipentaskan dalam bus antar kota-antar provinsi perusahaan Pmtoh. Walaupun ada orang yang memplesetkan kata “Pmtoh” menjadi “Pohtem”. Pohtem artinya: memukul (poh/peh) dan kaleng (tem) berarti:  panci, wajan, ember, dan aksesoris lainnya. Karena benda-benda inilah yang sering digunakan oleh Tgk. Adnan sebagai dekorasi dalam bermain Pmtoh. Menurut beberapa pengamat dan sumber yang akurat memaparkan bahwa nama Pmtoh diambil dari nama bus Pmtoh, karena suara klakson bus Pmtoh pada awal kemunculan Pmtoh mirip suara seruling yang ditiup oleh Tgk. Adnan saat bermain Pmtoh. Ada juga sebagian pengamat hikayat berpendapat bahwa Tgk. Adnan mampu meniru suara klakson bus Pmtoh, sehingga nama itu melekat pada diri Tgk. Adnan Pmtoh.
Ada juga sebagian pengamat hikayat berpendapat bahwa Tgk. Adnan mampu meniru suara klakson bus Pmtoh, sehingga nama itu melekat pada diri Tgk. Adnan Pmtoh.
           
- See more at: http://hamdanimulya.blogspot.co.id/2016/04/tgk-ibrahim-pmtoh-murid-tgk-adnan-pmtoh.html#sthash.GfW2Rt8O.dpuf
Ada juga sebagian pengamat hikayat berpendapat bahwa Tgk. Adnan mampu meniru suara klakson bus Pmtoh, sehingga nama itu melekat pada diri Tgk. Adnan Pmtoh.
           
- See more at: http://hamdanimulya.blogspot.co.id/2016/04/tgk-ibrahim-pmtoh-murid-tgk-adnan-pmtoh.html#sthash.GfW2Rt8O.dpuf
           
2.    Pmtoh Genre Seni Tutur Aceh yang Unik
Pmtoh merupakan genre (jenis) seni tutur, karena kesenian ini merupakan seni bercerita. Pertujukan Pmtoh adakalanya juga disertai dengan naskah walaupun pemain Pmtoh telah menghafal naskah. Ada juga yang tidak menggunakan naskah, hikayat langsung  diungkapkannya dengan serta merta dan dilantunkan dengan kalimat-kalimat indah dihiasi sajak dan ritma-ritma yang begitu apik. Lakon dan tokoh yang diperankan oleh seniman ini begitu komplit. Namun, uniknya Tgk. Adnan hanya bermain pmtoh sendiri dengan berperan menjadi puluhan karakter tokoh dalam cerita. Dengan dibantu oleh seorang asisten yang tugasnya mengambil aksesoris yang dibutuhkan.
Tgk. Adnan Pmtoh sudah lama almarhum adakah yang meneruskan perjuangan hasil kreativitasnya? Jawabannya tentu ada. Mereka adalah Tgk. Ibrahim Pmtoh pembaca hikayat Aceh yang berdomisili di desa Blang Aceh, Kec. Tanah Luas, Kab. Aceh Utara dan Agus Nur Amal Pmtoh putra kelahiran Sabang, alumni Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang pernah tayang di beberapa stasiun televisi Jakarta. Agus Nur Amal Pmtoh dalam tampilannya agak berbeda dengan Tgk. Adnan, karena Agus Nur Amal dekorasinya lebih modern dan syair-syair naskah Pmtoh diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Melayu agar semua orang se-nusantara memahami isi cerita yang dipentaskan.  
Ada keunikan lain dari Pmtoh yaitu seorang pemain seni tutur ini harus mampu bermain musik seperti meniup seruling, bermain gendang maupun menabuh rapa-i, dan harus bisa bernyanyi. Jika tidak, maka Pmtoh akan terasa hambar dan kurang sedap. Jika ingin mengetahui lebih jelas mengenai silsilah Tgk. Adnan Pmtoh silakan anda baca di web: https://gemasastrin.wordpress.com, karya anak muda berbakat Herman RN yang telah mengulas panjang lebar tentang kehidupan Tgk. Adnan. Pmtoh bukanlah jenis pementasan yang hanya lebih menonjolkan gerakan, mimik, dan aksesoris. Melainkan disebut dengan seni tutur yang begitu komplit. Mengingat modelnya yang serta merta dan membutuhkan skill (keahlian) khusus. Pemain Pmtoh harus punya kecepatan menghafal, berpikir secara cermat, memiliki seni tinggi, dan harus memiliki ketajaman indera dan kelebihan lainnya. Jika dibuat ajang pemilihan aktor terbaik dalam kategori seni tutur, maka kemungkinan besar pemain Pmtoh yang akan menjadi juara I dan layak diberikan tropi yang sesuai.
Demikianlah Pmtoh terkecoh dunia. Membuat penonton terpingkal-pingkal tertawa. Hanya sampai di sini saja tulisan singkat ini. Semoga bermanfaat bagi para pecinta seni dan budaya Aceh yang bermartabat. (Penulis Hamdani, S.Pd. Pengamat Sejarah dan Sastra Aceh).


Selasa, 19 April 2016

Abon Usman NUDI

RIWAYAT ULAMA ACEH

         Dayah Nahrul Ulum Diniyah Islamiyah (NUDI) beralamat di desa Mee, Kecamatan Meurah Mulia, Kabupaten Aceh Utara. Dayah NUDI dipimpin oleh Tgk. H. Usman Ishaq (Abon Usman NUDI) merupakan ulama ahli tauhid dan ahli fikih alumni dayah BUDI Lamno.
Riwayat singkat ulama dayah ini merupakan kisah guru (gure) yang patut menjadi contoh teladan. Ulama merupakan pewaris para Nabi yang sangat berjasa dalam menyebarkan syiar Islam di seluruh penjuru muka bumi. Riwayat singkat ulama pimpinan dayah NUDI ini ditulis untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan sejarah Islam. Serta sebagai dokumentasi sejarah yang ditulis berdasar data dan fakta.
        Sejarah dayah NUDI juga ditulis dalam rangka menumbuhkan semangat menulis bagi para santri dayah (pesantren), karena menulis merupakan tradisi intelektual Muslim yang harus dipertahankan. Menulis merupakan kegemaran ilmuan Muslim yang perlu diwariskan kepada generasi muda Islam di masa yang akan datang agar kejayaan Islam yang sudah mengakar tidak punah seiring perkembangan zaman. Salah satu cara mengikat dan merangkai ilmu adalah dengan menulis, karena menulis merupakan tradisi mengikat ilmu dengan pena. Oleh karena itu maka kiranya perlu diberikan suatu motivasi menulis bagi generasi muda Islam khususnya santri dayah. Dalam rangka meningkatkan pemahaman serta menumbuhkan kreativitas dalam menulis sebagai tradisi intelektual Muslim.
Kemegahan Aceh tempo dulu itu disebabkan karena kegemaran ulama dan cendekiawan Muslim yang gemar menulis kitab dan buku. Penulis Aceh termasyhur dulu kala rata-rata merupakan lulusan dayah sebagai pusat pendidikan Islam tertua di Aceh dan nusantara. Beberapa ulama Aceh yang dikagumi dunia yang namanya harum sampai ke seluruh penjuru dunia antara lain adalah Teungku Chik Awee Geutah dan Abu Tanoh Abe. Itulah beberapa sosok ulama Aceh penulis kitab yang sangat berjasa dalam penyebaran syiar Islam.

Tgk. H. Usman Ishaq (Abon Usman NUDI)
 Pimpinan Dayah Nahrul Ulum Diniyah Islamiyah (NUDI)
Kec. Meurah Mulia, Kab. Aceh Utara
Tgk. Mulyadi dan Tgk. H. Usman Ishaq 
(Abon Usman NUDI) di Mekkah sedang Umrah, tahun 2016








Sumber foto: Kiriman Tgk. Mulyadi dari Mekkah Arab Saudi, tanggal 18 April 2016.
Penulis: Hamdani, S.Pd. alumni dayah NUDI.

Minggu, 10 April 2016

Alumni Dayah NUDI dalam Sejarah

ALUMNI DAYAH NUDI DALAM SEJARAH
Dayah Nahrul Ulum Diniyah Islamiyah (NUDI) beralamat di desa Mee, Kecamatan Meurah Mulia, Kabupaten Aceh Utara. Dayah NUDI dipimpin oleh Tgk. H. Usman Ishaq (Abon Usman NUDI) merupakan ulama ahli tauhid dan ahli fikih alumni dayah BUDI Lamno.
Tgk. H. Usman Ishaq
(Abon Usman NUDI)
                         
Alumni dayah NUDI yang terkumpul dalam riwayat singkat alumni dayah ini merupakan guru (gure) dan sahabat alumni yang telah berhasil menjadi pendakwah, cerdik pandai, intelektual, penulis buku, dan ilmuan Muslim yang patut menjadi contoh teladan. Demikian juga guru kami para ulama yang merupakan pewaris para Nabi yang sangat berjasa dalam menyebarkan syiar Islam di seluruh penjuru muka bumi. Riwayat singkat alumni dayah NUDI ini ditulis untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan sejarah Islam. Serta sebagai dokumentasi sejarah yang ditulis berdasar data dan fakta.

            Sejarah dayah NUDI juga ditulis dalam rangka menumbuhkan semangat menulis bagi para santri dayah (pesantren), karena menulis merupakan tradisi intelektual Muslim yang harus dipertahankan. Menulis merupakan kegemaran ilmuan Muslim yang perlu diwariskan kepada generasi muda Islam di masa yang akan datang agar kejayaan Islam yang sudah mengakar tidak punah seiring perkembangan zaman. Salah satu cara mengikat dan merangkai ilmu adalah dengan menulis, karena menulis merupakan tradisi mengikat ilmu dengan pena. Oleh karena itu maka kiranya perlu diberikan suatu motivasi menulis bagi generasi muda Islam khususnya santri dayah. Dalam rangka meningkatkan pemahaman serta menumbuhkan kreativitas dalam menulis sebagai tradisi intelektual Muslim.
Kemegahan Aceh tempo dulu itu disebabkan karena kegemaran ulama dan cendekiawan Muslim yang gemar menulis kitab dan buku. Penulis Aceh termasyhur dulu kala rata-rata merupakan lulusan dayah sebagai pusat pendidikan Islam tertua di Aceh dan nusantara. Beberapa ulama Aceh yang dikagumi dunia yang namanya harum sampai ke seluruh penjuru dunia antara lain adalah Teungku Chik Awee Geutah dan Abu Tanoh Abe. Itulah beberapa sosok ulama Aceh penulis kitab yang sangat berjasa dalam penyebaran syiar Islam.

Alumni Dayah NUDI Kecamatan Meurah Mulia, Kabupaten Aceh Utara
Bersama Abu Ibrahim BUDI Lamno dan Tgk. H. Usman Ishaq (Abon Usman NUDI)
Pimpinan Dayah NUDI, tahun 1990-an

Keterangan Gambar:
  A.    Abu Ibrahim BUDI Lamno memakai baju jas dan berpeci hitam berdiri di tengah.
  B.  Tgk. H. Usman Ishaq (Abon Usman NUDI) memakai peci hitam dan berjanggut berdiri paling belakang.
  C.     Nama Para Alumni baris belakang dilihat dari kiri ke kanan.
1.      Syamsyuddin (Wiraswasta)
2.      Saiful Anwar (Wiraswasta)
3.      Tgk. Nurdin (Guru balai pengajian)
4.      Ismuhar (Satpam Telkom)
5.      Tgk. Juwaini, S.Ag. (Guru Dayah Syamsyudduha)
6.      Tgk. Jafar (Wiraswasta)
7.      Tgk. Fakruddin (Guru MTsS NUDI)
8.      Tgk. Zamzami (Wiraswasta)
9.      Tgk. Aliyuddin (Wiraswasta)
10.  Jamaluddin (Wiraswasta)
11.  Tgk. Rusli (Wiraswasta)
12.  Saiful Bahri (Wiraswasta)
13.  Yusuf (Wiraswasta)

Nama Para Alumni baris depan dilihat dari kiri ke kanan.
1.      Martunis (Wiraswasta)
2.      Dr. Irsyadillah (Dosen Universitas Syiah Kuala Banda Aceh)
3.      Tgk. Jafar (Guru balai pengajian)
4.      Jalaluddin (Wiraswasta)
5.      Syafruddin (Wiraswasta)
6.      Mukhlisin (Tenaga Tata Usaha MAN Lhokseumawe)
7.      Hamdani, S.Pd. (Guru MAN Lhokseumawe dan penulis buku)
8.      Tgk. Harwin Ilyas (Wilayatul Hisbah dan penceramah)
9.      Martunis (Karyawan Puskesmas)
10.  Zulkarnaini (Wiraswasta)


Dayah NUDI, Kec. Meurah Mulia, Kab. Aceh Utara


PENGALAMAN SEORANG ALUMNI 
DAYAH NUDI KENANGAN YANG ELOK UNTUK DIINGAT
    
Tempat yang paling indah di dunia ini adalah masjid, mushalla, dayah (pesantren), madrasah, dan tempat menuntut ilmu agama Islam. Masjid dan semua tempat menuntut ilmu agama Islam yang tersebut di atas merupakan tempat yang paling dimuliakan oleh Allah. Di dayah sebagai tempat menuntut ilmu agama kita dapat menemukan kebahagiaan dan menikmati nikmatnya iman beserta kasih sayang Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Orang-orang yang menuntut ilmu di jalan Allah akan mendapatkan rahmat dan hidayah Allah di dunia dan di akhirat. Seperti nasehat Abuya Jamaluddin Waly dalam syair yang ditulis dalam bukunya Panduan Zikir dan Doa Bersama (2003:32) berikut:

Cinta Tuhan dapat jaminan
Dimasukkan dalam syurga tinggi
Demikian hadis Nabi menjelaskan
Kepada ummat Islam pengikut Nabi

Saya menulis kisah ini berawal dari kenangan indah ketika mengingat bahwa dayah itu sangat penting bagi saya. Karena di dayah NUDI itu saya mendapatkan berbagai ilmu agama Islam dan pengalaman-pengalaman yang mengesankan. Sejak berusia sekitar 9 tahun saya sudah mulai belajar di dayah ini pada kelas diniyah sore. Dan pada usia 12 tahun saya sudah dimasukkan oleh orang tua saya belajar pada malam hari sejak tahun 1992-1998. Sejak itu saya sudah harus belajar disiplin membagi waktu. Pada pagi hari harus berangkat ke sekolah dan sore hari untuk membantu orang tua saya. Jika ada acara latihan ceramah dalam rangka lomba pidato saya juga datang belajar pada sore harinya ke dayah NUDI. Begitulah kisahnya, dayah NUDI masih sangat akrab dalam ingatan saya.
Ada beberapa kisah yang berkesan bagi saya antara lain saya sangat senang dengan belajar berpidato (muhazharah). Setiap malam Jum’at saya terkagum-kagum melihat beberapa guru yang pintar berceramah. Saya ingin seperti guru-guru saya yang pintar berdakwah. Beberapa guru yang gemar berceramah antara lain adalah Tgk. Bustamam yang sering kami panggil Tgk. Faslon dan Tgk. Ibnu Hasan. Sedangkan yang menjadi protokol rutin bernama Tgk. Juwaini yang sekarang menjadi guru dayah Syamsyudduha Cot Murong.
Pada awalnya ketika saya dipersilakan berpidato saya jadi demam, karena tidak terbiasa memegang mixrofon dan baru pertama naik mimbar. Lama-lama belajar akhirnya ketagihan mau ceramah melulu di depan guru dan kawan-kawan. Ternyata ilmu yang saya dapatkan di dayah sangat membantu saya waktu sekolah di SMA Negeri Samudra Geudong tahun 1995-1998, karena di sekolah waktu itu juga ada materi berpidato pada pelajaran Bahasa Indonesia. Sampai saya kuliah di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Syiah Kuala tahun 1998-2003 ilmu cara berpidato ternyata sangat penting, karena di jurusan saya ada mata kuliah Berbicara, di situ saya dites berceramah juga. Kata dosen pengasuh mata kuliah tersebut tujuannya adalah untuk menghasilkan orator (pembicara) yang ulung atau penceramah yang andal.
Sampai sekarang tahun 2016 ketika saya mengajar dan menjadi guru MAN Lhokseumawe ternyata ilmu berpidato itu sangat penting. Saat saya mendapat jadwal kuliah tujuh menit atau ceramah singkat setelah shalat zhuhur berjamaah di MAN Lhokseumawe. Ilmu yang saya dapatkan di dayah NUDI sangat berguna bagi saya dalam menjalankan tugas mengajar sambil berceramah di depan siswa.
Segala puji bagi Allah. Ilmu yang saya dapatkan ketika belajar di dayah NUDI sangat berguna dalam mengarungi hidup di dunia dan akhirat. Benar seperti yang disampaikan oleh Abon Usman NUDI pada suatu malam ketika mengaji. Abon Usman mengatakan “Ilmu agama Islam ini sangat penting dalam mengarungi hidup di dunia ini, jika tidak punya ilmu agama maka manusia akan sesat.” Itulah sepenggal kalimat nasehat guru kami. Memang benar. Kemanapun kita pergi, di manapun kita tinggal ilmu agama sangat penting, karena dengan ilmu agama hidup manusia akan terarah kejalan yang lurus menjadi manusia yang  bertakwa kepada Allah.
          Kisah yang berkesan lain juga ada, waktu di dayah NUDI. Misalnya jika ada orang berhalangan tidak dapat naik mimbar berceramah. Tgk. Juwaini memanggil saya untuk menggantikan dengan membaca syair Aceh atau qashidah. Lumayan untuk saya coba-coba belajar tulis syair.  Karena sejak duduk di bangku SMP tahun 1992-1993 saya sudah senang dengan pelajaran sastra. Pada bulan Maulid saya dan kawan-kawan sering di undang ke desa-desa untuk baca shalawat. Tgk. Faslon dan Tgk. Abdul Manan sebagai syeh zikir Maulid. Kami Teungku aneuk miet (ustaz anak-anak) mengikuti bacaan shalawat seperti yang dibaca oleh syeh zikir Maulid. Itulah indahnya tinggal di dayah sejak kecil sudah dimuliakan oleh guru-guru. Kami walau masih kecil tidak dipanggil dengan sebutan kamu, tapi kami di panggil teungku. Waktu itu saya Hamdani kecil dipanggil oleh Tgk. Abdul Manan dengan sopan Tgk. Hamdani atau Teungku Paya Bili, karena lahir di desa itu. Murid-murid dulu sangat hormat dengan gurunya. Sopan dan santun saat bertutur kata.
Makanya saya sangat mencintai guru saya, seperti menyayangi orang tua kandung sendiri. Karena pengalaman saya sukses menjadi guru, itu karena ridha Allah, ridha orang tua, dan ridha guru saya. Riwayat ini saya sampaikan bukan untuk tujuan ria, melainkan sebagai nasehat dan motivasi bagi para sahabat dan murid-murid saya.
Pengalaman menarik lainnya adalah ada guru saya yang sudah menjadi dosen STAIN Malikussaleh Lhokseumawe yaitu Tgk. Husnaini Hasbi, S.Ag., MA. Jadi, kami bertemu lagi di kampus STAIN waktu sama-sama mengajar sebagai dosen. Tgk. Husnaini sebagai dosen tetap, sedangkan saya sebagai dosen luar biasa dari tahun 2005-2011.
Waktu saya belajar di dayah NUDI ketika itu Kepala Yayasannya adalah Tgk. H. Hasbi ayahanda Drs. Tgk. H. M. Daud Hasbi, M.Ag. (Abi Daud Hasbi) mantan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Aceh Utara. Guru dan murid waktu itu sangat kompak membangun dayah ini, kadang-kadang kami bergotong-royong, dan sering membuat acara lomba pidato, cerdas-cermat, Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) yang dibantu oleh masyarakat dan Pak Camat Meurah Mulia. Tokoh-tokoh masyarakat Meurah Mulia juga ikut andil membangun dayah NUDI. Seperti Bapak Razali, S.Pd. mantan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Aceh Utara sering hadir ke dayah NUDI menjadi protokol acara MTQ.
Pada bulan Ramadhan juga kami adakan acara buka puasa bersama. Para alumni ikut memberikan donasi (sumbangan) baik dana maupun tenaga. Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Meurah Mulia (IPPM) banyak membantu memberikan motivasi agar alumni dayah NUDI dapat menjadi orang sukses di dunia dan di akhirat. Salah satu alumni yang sudah menjadi dosen Universitas Syiah Kuala Banda Aceh adalah Dr. Irsyadillah Abubakar putra asli desa Teumpok Teungku, Kecamatan Meurah Mulia. Selain itu ada alumni bernama Tgk. Harwin Ilyas sebagai pendakwah andal dan Tgk. Bakhtiar, S.Ag. sebagai Kepala SMA Negeri Meurah Mulia. Dan masih banyak lagi yang belum terdata. Jika sahabat membaca tulisan ini mohon kirimkan data alumni yang lengkap ke email: tengkuhamdani@yahoo.com. Untuk dokumentasi alumni dayah NUDI.
Mohon maaf kepada guru-guru dan sahabat saya jika namanya belum kami sebutkan di sini. Saya sangat mengharapkan dukungan dari para guru dan sahabat sekalian. Terimakasih kepada guru (gure) kami Abon Usman NUDI yang telah mewariskan ilmu kepada kami (murid-muridmu), engkau sebagai ulama adalah pewaris para Nabi. Terimakasih kepada guru kami Tgk. Juwaini, S.Ag., Tgk. Fakruddin, dan Tgk. Faslon,  engkau adalah guru dan juga sahabat kami yang baik. Terimakasih tak terlupakan kepada guru kami Tgk. Husnan, S.Ag. (Kepala MTsS NUDI) dan Tgk. Zulhamdi, S.Ag. (Guru SMPN Meurah Mulia) yang setiap pulang dari Padang menuntut ilmu waktu itu bercerita tentang sejarah Islam di Minangkabau, kami terkesan dengan cerita Malin Kundang yang pernah guru ceritakan.   
Saya menjadi sukses hari ini karena rahmat serta karunia Allah. Salam untuk semua guru terbaik saya, cinta untuk semua sahabat sejati saya. Saya mengidolakan semua guru dan sahabat. Terimakasih kepada Ayahanda tercinta dan Ibunda tersayang yang telah mendidik ananda hingga saat ini, terimakasih atas bantuan dan doa-doa guru saya, dan sahabat sekalian. (Dokumentasi Alumni Dayah NUDI, Penulis: Hamdani, S.Pd. alumni dayah NUDI dan guru MAN Lhokseumawe).

Tgk. Mulyadi dan Tgk. H. Usman Ishaq (Abon Usman NUDI)
sedang Umrah di Mekkah, tahun 2016



RIWAYAT HIDUP PENULIS

Hamdani, S.Pd. dengan nama pena Hamdani Mulya. Lahir di desa Paya Bili, Kec. Meurah Mulia, Kab. Aceh Utara pada 10 Mai 1979. Belajar pendidikan pertama di rumah sendiri di kampung kelahiran berguru kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta. Menempuh Pendidikan Agama Islam di Dayah (Pesantren) Nahrul Ulum Diniyah Islamiyah (NUDI) Kec. Meurah Mulia, Kab. Aceh Utara (1991 s.d 1998) berguru kepada Tgk. H. Usman Ishaq yang akrab dipanggil Abon Usman NUDI ulama kharismatik Aceh alumni dayah BUDI Lamno.
Hamdani memulai pendidikan dasar di SD Negeri Paya Bili (1992), SMP Negeri Meurah Mulia (1995), SMA Negeri Samudera Geudong (1998). Alumni Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh tahun 2003.
Menulis puisi dan artikel pendidikan di beberapa majalah dan surat kabar. Karya Hamdani Mulya dipublikasikan di harian Serambi Indonesia, Kutaradja, Waspada, Haba Rakyat, Majalah Fakta, Santunan Jadid, Seumangat BRR, Al-Huda, Khazanah, Meutuah Diklat, dan di beberapa website (blog) internet seperti: http://hamdanimulya.blogspot.com.
Puisinya juga terkumpul bersama penyair Aceh lainnya dalam antologi puisi Dalam Beku Waktu tahun 2002. Puisi Hamdani Mulya yang berjudul “Rindu dalam Damai di Bawah Payung Cinta” menjadi puisi favorit bagi juri dalam acara lomba menulis puisi “Damai dalam Sastra” yang diselenggarakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Unsyiah dan menjadi puisi kategori puisi terbaik juara I tahun 2003.
Pak Hamdani, panggilan akrab penulis kota Belahan Sungai Lhokseumawe ini sejak tahun 2006 sampai sekarang menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan bertugas sebagai guru Bahasa Indonesia di MAN kota Lhokseumawe. Mulai tahun 2004 sampai tahun 2011 mengasuh mata kuliah yang sama di STAIN Malikussaleh Lhokseumawe berstatus sebagai dosen luar biasa. Buah pikirannya tentang sastra, bahasa, dan pendidikan juga menjadi bahan rujukan skripsi mahasiswa STAIN.
     Pada tahun 2005 Hamdani Mulya diundang oleh Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional, untuk ikut serta dalam seminar nasional guru seluruh Indonesia di Bogor. Karena cerpennya yang berjudul “Nahkoda Pelabuhan Air Mata” masuk dalam finalis lomba mengarang cerpen tingkat nasional. Di ajang inilah ia berguru dan belajar menulis puisi beberapa saat kepada sastrawan nasional terkemuka Taufiq Ismail dan Sutardji Calzoum Bachri.
      Hamdani Mulya juga telah membacakan beberapa puisi yang ditulisnya di beberapa kota seperti Lhokseumawe, Sigli, Banda Aceh, dan Medan. Kumpulan puisinya yang berjudul "Mengeja Alamat" (puisi berkisah tsunami Aceh)  dibacakan di Radio Multi Suara FM Lhokseumawe dan puisinya "Syair Orang Sehat" dibacakan di Radio Republik Indonesia (RRI) Lhokseumawe. Di samping menjadi guru dan dosen kadang-kadang juga menjadi juri lomba menulis puisi dan cerpen tingkat siswa di Lhokseumawe. Hamdani adalah penulis buku Cerdas Berbahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Unimal Press Lhokseumawe tahun 2011 dan penulis buku Bahasa Nenek Moyang (Indatu) Orang Aceh tahun 2015.
     Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) yang pernah diikutinya yaitu: Diklat Penyiaran Radio Baiturrahman FM di Banda Aceh tahun 2002, Diklat Guru Bidang Studi Bahasa Indonesia di Medan tahun 2006, Diklat Pra Jabatan PNS di Sigli tahun 2006, dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di Lhokseumawe tahun 2007.


              FOTO PENULIS DARI MASA KE MASA


Hamdani Kecil, ketika duduk di bangku kelas 1
SD Negeri Paya Bili, Kec. Meurah Mulia, Kab. Aceh Utara tahun 1987



Hamdani Remaja, ketika duduk di bangku kelas 3
SMP Negeri Meurah Mulia, Kab. Aceh Utara tahun 1995

Hamdani, S.Pd. Guru MAN Lhokseumawe tahun 2012

Hamdani, S.Pd. tahun 2016
Hamdani, S.Pd. tahun 2016