Rabu, 19 Desember 2018

Manuskrip Puisi Hamdani Mulya

Puisi Karya Tulisan Tangan Manuskrip Bersejarah


Puisi karya Hamdani Mulya
Di era Teknologi Informatika Komputer (TIK) modern yang serba canggih ini. Setiap orang lebih mudah dalam mencari berbagai informasi. Begitu juga bagi para penulis, akan terasa lebih mudah menuangkan gagasan dalam sebuah tulisan. Penulis dapat mempublikasikan setiap karyanya dalam pustaka pribadi seperti blogspot dan website. Bahkan ada media online lebih mudah lagi dengan aplikasi media terbaru seperti steemit.
IMG_20180319_214316.jpg
Puisi tulisan tangan karya Hamdani Mulya.

Di zaman milenium ini yang dikenal dengan julukan era digital penulis dapat menyalurkan bakat menulis melalui media-media online seperti tersebut di atas. Para penulis dengan secepat mungkin dapat memainkan jari-jari di atas keyboard komputer atau mengetik di layar hp android, setelah beberapa menit kemudian menghasilkan sebuah tulisan yang langsung dapat dipublikasikan di media online. Hanya dalam beberapa detik karya sang penulis dapat dibaca oleh masyarakat di seluruh dunia. Penulis tidak mesti pusing-pusing lagi berpikir untuk dapat menerbit buku.
Berbeda dengan penulis tempoe dulu, mereka bersusah payah untuk menghasilkan sebuah karya yang bagus. Mereka menulis di atas kertas dengan menggunakan pulpen atau pena. Bahkan ada sebagian penulis tempoe dulu yang menggunakan getah-getah pohon sebagai tinta untuk menulis. Dawat dari pohon itu akhirnya menjadi sebuah tulisan yang sarat dengan ilmu pengetahuan. Yang kini menjadi sebuah manuskrip, perlu dipahami bahwa manuskrip merupakan karya tulisan tangan asli yang dianggap sebagai karya peninggalan bersejarah. Paling kurang jika sudah berusia 100 tahun, karya tersebut dapat disebut sebagai manuskrip. Waktu mesin foto kopi belum lahir ke dunia, karya-karya manuskrip terus disalin ulang menurut jumlah kebutuhan. Sebagai salah satu cara untuk menyebarkan karya-karya penulis, ketika mesin foto kopi belum ada. Para ilmuan muslim seperti ulama penulis kitab telah melakukan tradisi tulis menulis manuskrip ratusan tahun yang lalu.
Dengan kehadiran komputer dan android tradisi menulis dengan tangan hampir ditinggalkan generasi muda. Hanya anak TK, SD, SMP, dan SMA yang masih mengikuti tradisi menulis dengan tangan. Itupun hanya saat menulis di buku catatan, jika ada tugas menulis karangan seperti cerpen atau makalah para siswa pun sudah menulis dengan komputer.
Dengan demikian, mari kita semarakkan lagi kegemaran menulis dengan tangan. Menulis dengan pena harus dilestarikan. Cara yang dapat dilakukan misalnya dengan menyelenggarakan lomba menulis puisi karya tulisan tangan, menulis surat untuk ibu, dan menulis cerpen semua dilombakan menulis dengan tangan.
Sebagai contoh berikut saya paparkan dua buah puisi karya tulisan tangan saya, yang saya tulis beberapa tahun lalu. Puisi ini bertema tsunami yang melanda Aceh tahun 2004 silam.
IMG_20180319_214241.jpg
Puisi berjudul Mengeja Alamat (1) karya tulisan tangan Hamdani Mulya.
IMG_20180319_214902.jpg
Puisi berjudul Sepanjang Luka-luka karya tulisan tangan Hamdani Mulya.
Demikian tulisan ringkas ini semoga bermanfaat bagi pembaca.

Foto: Hamdani Mulya.

Biografi Singkat Ulama Aceh

Abi Cot Seunira (Tgk.H.Muhammad) Ulama Aceh dalam Sejarah

Oleh Tgk. Hamdani, S.Pd
Penulis sejarah ulama Aceh
IMG-20170810-WA0016.jpg
Foto: Tgk.H.Muhammad (Abi Cot Seunira)
Ulama merupakan pewaris para Nabi yang sangat berjasa dalam berdakwah. Menyebarkan syiar Islam ke seluruh penjuru dunia. Ulama laksana lampu di permukaan bumi. Meninggalnya ulama bagaikan padamnya lampu di permukaan bumi. Ulama selalu ikhlas dalam mengajarkan umat di balai pengajian, dayah (pesantren), surau, bahkan di madrasah-madrasah ulama selalu hadir mengajari umat agar lebih mengenal Allah.
Dengan berbekal ilmu dari para ulama dunia terasa terang dengan khazah keilmuan. Siapa saja yang memuliakan ulama berarti orang tersebut sama dengan telah memuliakan Nabi Muhammad, karena ulama adalah waris para Nabi yang mewariskan ilmu kepada umat.
Salah satu sosok ulama yang patut menjadi teladan adalah almarhum Abi Cot Seunira. Beliau bernama lengkap Tgk.H. Muhammad pimpinan pesantren Darul Aman Cot Seunira, desa Paya Kambuek, Kec. Meurah Mulia, Kab. Aceh Utara.
Tgk. H. Muhammad Cot Seunira lahir pada tahun 1945 dan berpulang ke hadirat Allah, menghadap sang khalik pada tahun 2014.
Abi Cot Seunira begitu beliau akrab dipanggil oleh murid-muridnya. Seorang ulama yang rendah hati dan bersahaja panutan umat. Seorang guru bagi rakyat Meurah Mulia secara khusus dan panutan bagi rakyat Aceh.
Abi Cot Seunira merupakan lulusan dayah terkemuka Babussalam Blang Bladeh, Kab. Bireuen. Setelah menetap di kampung tanah air nya Paya Kambuek, Abi Cot Seunira mendirikan sebuah dayah bernama Darul Aman. Beliau sendiri menjabat sebagai pimpinan hingga akhir hayatnya.
Setelah Abi Cot Seunira berpulang ke rahmatullah, menghadap Allah Yang Maha Kuasa. Tampuk pimpinan dayah Darul Aman dipimpin oleh Tgk. Muhibuddin atau yang dikenal dengan nama Akhi Muhib. Tgk. Muhibbudin merupakan anak sulung dari Abi Cot Seunira. Tgk. Muhibuddin adalah seorang teungku alumni dayah terpadu Ruhul Islam, dan beliau juga pernah mengenyam pendidikan di beberapa dayah tersohor lainnya di Aceh antara lain di Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga.
Demikianlah riwayat ringkas ini. Orang-orang yang berjasa bagi dunia pendidikan, ilmunya terus mengalir sebagai amal jariah. Namanya selalu dikenang umat. Mereka dengan ilmunya telah memberi bukti bahwa mereka pernah hadir ke dunia untuk mengabdi bagi kemajuan pendidikan Islam, nusa, dan bangsa.

"Ulama itu bagaikan embun di pagi hari
Hangat di dekat sejukkan sanubari
Tunjuki umat Muhammad kala gerah di kalbu
Pemberi minum di saat haus ilmu." (Tgk. Hamdani, S.Pd).

Rabu, 05 Desember 2018

Esai Sastra Indonesia




Membaca Mata Hati L.K. Ara pada Angin dalam Catatan

Oleh Hamdani Mulya
(Penulis Esai dan Pegiat Literasi di Forum Penulis Aceh Teungku Pang Husen.)
IMG_20180331_104658.jpg
Buku Angin dalam Catatan sebuah buku karya goresan pena sastrawan nasional asal dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah. Layak dikoleksi oleh para penikmat buku. Sebuah buku yang sarat dengan pesan moral. Buku yang nikmat dibaca serta dinikmati, bagaikan gurih dan lezatnya kopi arabika dari tanah Gayo.
L.K. Ara sastrawan besar Indonesia yang lahir pada 12 November 1937 di tanah seribu bukit Takengon sebelum Indonesia merdeka, telah menulis puluhan buku. Salah satu buku ukiran tangan sastrawan senior L.K. Ara adalah buku kumpulan puisi Angin dalam Catatan yang diterbitkan oleh PeNa Banda Aceh tahun 2016.
Buku yang berisi nilai keagamaan, sejarah, pelestarian alam, sosial, dan pendidikan.
Salah satu puisi yang ditampilkan dalam buku ini berjudul Wanita dari Lampadang puisi patriotisme yang membangkitkan semangat juang para generasi muda. Puisi ini berkisah tentang perjuangan para pahlawan wanita Aceh, berjuluk srikandi dari tanah rencong. Wanita yang gigih berjuang mengusir penjajah Belanda dari negeri ini. Apakah wanita yang dimaksud dalam puisi ini Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, atau Laksamana Keumalahayati ? Yang jelas puisi ini berisi perjalanan perjuangan wanita-wanita Aceh yang tangguh dan pemberani.
Seperti yang terlukis dalam larik puisi berikut "Ada seorang remaja dari Lampadang, Rumah dan kampungnya dibakar, Lalu ia menyingkir ke hutan rimba. Ketika remaja, Ia bukan gadis manja, Ringan tangannya, bergunjing ia tak suka, Tekun belajar agama."
Untuk lebih jelas berikut kutipan puisi Wanita dari Lampadang dalam bentuk lembaran digital. Selamat membaca.
IMG_20180331_103640.jpg
IMG_20180331_103850.jpg
Itulah puisi yang sarat dengan nilai kepahlawanan yang harus diteladani oleh para generasi penerus bangsa.
Berikut ditampilkan Biografi Singkat sastrawan L.K. Ara.
IMG_20180331_104421.jpg


BIOGRAFI MAHDI IDRIS

Mahdi Idris Penulis Berlatar Pesantren Pintar Merangkai Sastra

Oleh Hamdani Mulya
Penulis esai dan pengamat sastra
FB_IMG_1505025921545.jpg
Foto: Mahdi Idris
Mahdi Idris seorang guru yang bersahaja. Lahir di Desa Keureutou, Kec. Lapang, Kab. Aceh Utara, 3 Mai 1979. Mahdi Idris merupakan sosok teungku (ustaz) yang berlatar belakang pendidikan dayah (pesantren). Telah menjadi ikon dan spirit bagi penulis Aceh bahwa kalangan santri dan dai pun mampu menulis karya sastra serupa cerpen dan puisi. Hal itu mengingatkan kita akan sejarah ulama nusantara tempo dulu bahwa betapa eloknya karya para penulis yang lahir dari lingkungan pesantren seperti Ali Hasjmy. Yang menulis berbagai jenis karya sastra yang lezat untuk dibaca.
cover-lelaki-bermata-kabutku.jpg
Foto: Buku Lelaki Bermata Kabut
Dengan kehadiran guru Mahdi Idris di kancah sastra tanah air tentunya geliat menulis untuk kalangan orang pesantren kembali berdenyut.
Guru Mahdi yang akrab disapa Teungku Mahdi oleh para sahabatnya merupakan pembuka jalan bagi kalangan santri, tentunya jalan untuk menuju ke arah kebangkitan menulis sebagai tradisi intelektual muslim. Jalan yang mungkin juga sudah lama ditumbuhi rumput atau belukar yang menutup ruang ke jalan sastra, kini di buka kembali oleh guru Mahdi Idris.
Cover Kumcer (1).jpg
Mahdi Idris mengawali pendidikan di pondok Pesantren Modern Al-Muslim Lhoksukon dari tahun 1992 sampai 1996. Kemudian melanjutkan pendidikannya di Pesantren Nurul Yaqin Al-Aziziyah Aceh Pidie selama setahun. Pada tahun 1998 meneruskan perantauannya ke Aceh Barat Daya, tepatnya di Pesantren Raudhatul Ulum Alue Pisang, Kec. Kuala Batee. Pada tahun 2001 kembali ke kampung halaman, dan mengajar di Pesantren Nurul Huda Trieng Pantang, Kec. Lhoksukon, Aceh Utara sampai Juni 2003.
Cover Lagu.jpg
Mahdi Idris, pria yang lues dalam bergaul ini adalah Sarjana lulusan Fakultas Syariah, Jurusan Muamalat pada STIS Jamiatut Tarbiyah Lhoksukon, Aceh Utara ini mengawali karier bidang menulis sejak bergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP) Lhokseumawe pada awal 2009.
Guru Mahdi bisa dikatakan sebagai penyemangat menulis bagi kalangan santri, siswa madrasah, dan guru pesantren untuk mengulang kegemilangan Aceh dalam buku sejarah dan sastra yang digores dengan tinta emas.
Guru Mahdi juga salah seorang guru yang pernah mengajar di Pesantren Terpadu Ruhul Islam Tanah Luas, SMAN 1 Matang Kuli, dan dosen STIA Jamiatut Tarbiyah Lhoksukon, Aceh Utara. Ia sangat peka terhadap permasalahan sosial dan kearifan lokal Aceh. Lalu ia menuangkannya ide-ide tersebut dalam cerpen dan puisi yang ditulisnya.

FB_IMG_1505026007962.jpg
Foto: Mahdi Idris bersama Muhammad Subhan Sastrawan berdomisili di Padang, Sumatera Barat
"Potret kehidupan Aceh dalam buku kumpulan cerpen ini begitu terasa, dan sebagai putra Aceh, Mahdi berhasil memotret realita kehidupan kampung halamannya dalam sebuah cerita. Begitu mengena dan penuh nuansa," ungkap Ayi Jufridar, Jurnalis dan Sastrawan mengomentari buku Lelaki Bermata Kabut yang diterbitkan oleh Cipta Media tahun 2011.
Lelaki Bermata Kabut adalah salah satu buku karya Mahdi Idris berupa kumpulan cerpen karya sastrawan muda asal Aceh yang juga seorang guru.

Eksitensi Mahdi Idris dalam berkarya memang tidak berhenti dalam sebuah cerpen, ia juga menulis puisi, resensi, dan ulasan sastra. Sebagai seorang guru ia juga mengajar dengan buku melalui karya yang ditulisnya, Mahdi mengajar dan berdakwah melalui media. Cara yang ia tempuh adalah dengan menulis. Ini sangat menggembirakan, mengingat gairah perkembangan sastra di Aceh semakin pesat dengan lahir para penulis muda yang mencoba menunjukkan eksitensinya, Mahdi adalah salah satunya.

"Menarik, ringan serta khas. Antologi cerpen sang guru Mahdi Idris mengajak saya dalam banyak hal dalam kisahnya. Kekhasan Aceh yang mengental, kritik sosial yang ringan serta tidak menggurui, membuat saya kagum dengan penulis guru ini...." demikianlah komentar R.H.Fitriadi, penulis novel asal Aceh menilai buku berjudul Jawai karya Mahdi Idris, buku yang layak dibaca oleh semua kalangan.
Mahdi Idris telah melahirkan beberapa buku hasil goresan penanya berupa kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit: Lelaki Bermata Kabut (Cipta Media, 2011), Sang Pendoa (Yayasan Pintar, 2013), dan kumpulan puisi Lagu di Persimpangan Jalan ( Yayasan Pintar, 2013).
Selain itu, karya Mahdi Idris dimuat di berbagai buku antologi puisi bersama sastrawan nasional lainnya. Karya Mahdi tersebar dimuat diberbagai surat kabar dan majah seperti: Harian Aceh, Serambi Indonesia, Aceh Independent, Aceh Post, Rakyat Aceh, majalah Potret, Assifa, Joe Fiksi, tabloid Narit, Waspada, Jurnal Seni Kuflet, Lintas Gayo, Metronews Jakarta, Pikiran Merdeka, Suara Pembaruan, Jurnal Nasional, dan lain-lain.
FB_IMG_1505026036999.jpg
Foto: Mahdi Idris
Mahdi juga aktif sebagai pengurus Mahkamah Adat Aceh (MAA) Kab. Aceh Utara dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kab. Aceh Utara. Beliau sering menjadi juri lomba menulis dan membaca karya sastra di Aceh Utara dan Lhokseumawe. Serta menjadi khatib Jum'at di masjid.
Pada tahun 2011 Pak Mahdi meraih juara II sayembara penulisan buku pengayaan Puskurbuk Kemendikbud dengan judul naskah manuskrip Nyanyian Rimba, dikalangan pihak Kemendikbud Mahdi Idris dipanggil dengan sebutan Pak Aceh, satu-satunya guru dari seluruh Indonesia yang menghadap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memakai peci dan memakai baju muslim untuk mengambil hadiah, sertifikat, dan tropi penghargaan bagi penulis Mahdi Idris.
Kita berharap guru Mahdi Idris dapat menggantikan almarhum Ali Hasjmy ulama sekaligus sastrawan besar Indonesia asal Aceh, Bapak Bahasa dan Sastra Asia Tenggara. Menurut hemat penulis bisa dikatakan Mahdi Idris nantinya akan seperti Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah (HAMKA) ulama yang sastrawan nasional asal Padang, Sumatera Barat, bagi orang Aceh. Sosok dan pemikiran HAMKA sebagian ada pada jati diri Mahdi Idris. Jadi bisa dikatakan bahwa Mahdi Idris adalah calon HAMKA-nya orang Aceh.
Demikianlah, semoga bermanfaat. Salam sastra dari tanah Pasai, Aceh Utara.

Sumbok Rayeuk, Nibong 10 September 2017
IMG20160817075738.jpg
Foto: Hamdani Mulya
Penulis esai

Kisah Cut Nyak Dhien dalam Buku Sastrawan Indonesia-Malaysia

Kisah Cut Nyak Dhien dalam Buku Sastrawan Indonesia-Malaysia

Oleh Hamdani, S.Pd
Penulis esai
IMG20161227101254.jpg
Foto: Buku Yogya dalam Nafasku
Cut Nyak Dhien seorang pahlawan nasional asal Aceh. Seorang ibu berhati lembut, namun berjiwa baca. Sosok perempuan yang tangguh, sangat ditakuti oleh penjajah Belanda. Cut Nyak Dhien juga seorang guru, di pengasingannya Sumedang ketika diasingkan oleh Belanda sempat menjadi guru agama Islam kala itu. Pemikirannya yang sangat berpenguruh dan membakar semangat juang rakyat dalam melawan penjajah, sangat mengkhawatirkan pihak Belanda.
Cut Nyak Dhien srikandi dari tanah rencong, Aceh. Seorang ibu bangsa, kebanggaan rakyat Aceh dan Indonesia. Namanya terus terukir dengan tinta emas dalam rimba literatur sejarah, laksana perjuangannya yang bergerilya di rimba belantara nusantara. Itu ia lakukan demi harkat dan martabat bangsanya.
Nama Cut Nyak Dhien dapat dibaca dalam buku-buku sejarah dunia. Tak terkecuali dalam buku yang berjudul Yogya dalam Nafasku juga menggoreskan kisah heroik Cut Nyak Dhien sebagai pahlawan nasional.
Seperti yang ditulis oleh oleh Dodo Widarda dalam sebuah puisi bertema kepahlawan berjudul Balada Teuku Umar-Tjut Nyak Dhien yang tersusun indah dalam bait berikut:

Dari nyala api butir-butir tanah lampisang
Aku mendengar suara sayup dari qalbu jiwa yang hidup
Obrolan sepasang belahan jiwa terngiang-terngiang
Antara Umar dan Dhien saat membelai Cut Gamblang

Mendidih suara dari bilik-bilik batin Tjut Nyak Dhien
Teringat akan lintasan-lintasan peristiwa silam;
Darah syuhada yang membasuh tanah rencong
dari belahan jiwa pertama Ibrahim Lamnga.
Harum semerbak ruh seorang syahid menghadap Allah
bersimbah darah Lamnga kembali pada Tuhannya
telah memendam sekam dalam jiwa Tjut Nyak
untuk tak pernah henti melawan kafe-kafe penjajah itu.
...
Itulah nukilan petikan puisi yang panjang tersebut. Ditulis untuk ditampilkan pada Festival Tjut Nyak Dhien di Sumedang, 30-31 Oktober 2014. Puisi tersebut ditulis di Kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Lalu puisi tersebut terkumpul dalam buku antologi puisi Yogya dalam Nafasku yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta, tahun 2016. Buku tersebut memuat puisi sastrawan Indonesia, Malaysia, dan negeri serumpun Melayu.
Sosok Cut Nyak Dhien juga diukir oleh Hamdani Mulya penulis asal tanah Pasai, Aceh Utara. Puisi yang menggugah hati berjudul Ibuku yang Anggun Cut Nyak Dhien berikut:
Rinduku pada ibu
Laksana gerahku mata air
Mengumbar selaksa cinta
Yang aku tanam lewat
Curahan kasihmu di igauwanku
Betapa aku telah jadi
bara kagum padamu ibu
Dalam detak jantung adalah
doa untukmu
Biarkan cinta yang anggun
berpayung sutra
dan cinta pun berlabuh di tanah airku
Dengan Rahmat Allah
Tanah airku merdeka
Aku anakmu yang selalu bersenandung
Merdeka di setiap jengkal tanahmu
Ibuku yang anggun "Cut Nyak Dhien"
Aku merindukanmu di hamparan
Ali Hasyimi, telah berbuah budi
Cinta yang engkau taburi
Di negeri ini cinta telah berbuah budi
Api terpadam air
Di sini aku rindu ibuku "Cut Nyak Dhien"
Aceh Utara, 26 Juni 2016
Demikianlah ulasan singkat buku Yogya dalam Nafasku. Buku yang menjadi saksi sejarah bahwa Cut Nyak Dhien telah menjadi idola para penulis. Sosok Cut Nyak Dhien telah menjadi contoh teladan bahwa berjuang tidak ada kata berhenti di tengah jalan. Ia rela mengorbankan darah dan nyawanya sekalipun, demi harkat dan martabat bangsanya. Atas jasa-jasa yang sangat bernilai harganya pemerintah menganugerahkan Cut Nyak Dhien sebagai pahlawan nasional.


Sabtu, 17 November 2018

Esai Sastra Indonesia


Esai Sastra
RINDU TANAH KELAHIRAN DALAM SAJAK
CATATAN ZULIA KARYA ZAB BRANSAH

Oleh Hamdani Mulya
Mahdi Idris (kiri) dan Zab Bransah (kanan)

Buku antologi puisi (sehimpun sajak) berjudul Catatan Zulia boleh disebut sebagai sebuah karya yang lahir dari hasil perjalanan sang musafir penyair Zab Bransah. Mahdi Idris selaku editor buku ini menulis dalam pengantarnya Catatan Zulia; Membaca Sajak Kerinduan memaparkan bahwa puisi merupakan bentuk karya sastra yang menggunakan kata-kata indah dan kaya makna. Keindahan sebuah puisi disebabkan oleh diksi, majas, rima, dan irama yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Puisi menggunakan bahasa yang ringkas, namun maknanya sangat kaya. Kata-kata yang digunakan adalah kata-kata konotatif, yang mengandung banyak penafsiran dan pengertian.
Penyair Zab Bransah adalah nama pena dari Zakaria, M.Pd. anak dari pasangan Bapak Ali Basyah Bransah dan Ibu Siti Maryam. Lahir pada 6 Juli 1964, di sebuah desa kecil Blang Cut, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Zab Bransah seorang penyair yang hidup sering berpindah-pindah tempat sejak menempuh pendidikan dan melaksanakan tugas sebagai seorang guru tentu harus melakukan hijrah ke berbagai daerah. Ia juga kerap kali melakukan ziarah ke berbagai tempat. Lawatan-lawatan tersebut Zab Bransah lakukan untuk tujuan pendidikan dan tugasnya sebagai guru sekaligus sebagai seorang penyair.
Dorongan menulis puisi muncul dalam diri seorang penyair tidak datang begitu saja dari dunia tak dikenal, akan tetapi datang dari sebuah pengalaman yang dihayati secara total. Pengalaman yang dimaksud adakala disebut sebagai pengalaman puitik, yang sumbernya berasal dari pengalaman fisik maupun dari pengalaman metafisik dalam pengertian yang seluas-luasnya (Soni dalam Zab Bransah, 2018:vii).
Hal tersebut menjadi sebuah acuan bahwa begitupun puisi-puisi yang ditulis Zab Bransah dalam buku Catatan Zulia merupakan hasil dari sebuah perjalanan yang panjang dan berliku. Dari hasil perenungan yang mendalam Zab Bransah menuangkan berbagai pengalaman hidupnya dalam sajak-sajak yang ditulisnya. Puisi yang terhimpun dalam buku ini berjumlah enam puluh sajak. Ia tulis dalam rentang waktu yang panjang, sejak tahun 1986-2018. Beliau tulis sejak belia, ketika duduk di bangku kuliah, sampai usianya menjelang senja yang kini memasuki 54 tahun tetap istiqamah menekuni dunia menulis puisi.
Zulia adalah metafora yang digunakan Zab Bransah untuk seseorang yang ia rindukan, ia cintai, sekaligus yang ia benci. Siapakah sebenarnya sosok Zulia yang dikisahkan dalam puisi-puisi yang ditulisnya? Itulah pertanyaan yang pernah saya lontarkan kepada Zab Bransah. Ia menjawab “Zulia adalah metafora, kiasan, Zulia adalah sosok siapa saja yang mencintai perdamaian, sosok yang merindukan persaudaraan, Zulia itu gambaran rindu, cinta, dan kasih sayang antar sesama manusia. Persaudaraan dan perdamaian yang dirindukan oleh semua orang.”
Antologi sehimpun sajak Catatan Zulia merupakan gambaran rindu, cinta, dan keprihatinan pada tanah kelahiran. Suasana dilema perasaan batin sang penyair yang ia ungkapkan dalam larik-larik yang puitis dan menggugah perasaan para pembaca. Perasaan kerinduannya pada tanah kelahiran Zab Bransah tuangkan dalam sebuah puisi berjudul “Pulang 1” sebagai berikut:

Langkahku malam ini
merindukan kembali pada tanah kelahiran
jalan masih panjang menapaki diri
pada malam-malam semakin menepi pada janji
menyambutku kembali.
(Catatan Zulia, hal.5)

Zab Bransah penyair kelahiran Meureudu, Pidie Jaya, yang bertugas sebagai seorang guru di MAN 1 Langsa yang jauh dari kampung halamannya. Kadang kala mengalami gejolak batin, mengalami rasa kerinduan yang membuncah akan tanah kelahirannya. Rindu itu ia ungkapkan dalam sajak-sajaknya, sehingga rindu itu pun terobati dengan sajak sebagai pengobat rindu, Catatan Zulia.
Zab Bransah sebagai seorang anak yang berbakti kepada ibu-bapa, ia pun sering merindukan orang tuanya di kampung halaman. Segenap doa selalu ia curahkan demi ibunda tercinta. Begitupun harapan akan keberhasilan dalam mengarungi lembah kehidupan selalu ia memohon restu dari sang Ibunda Siti Maryam. Seperti yang ia ukir dalam puisi indah goresan pena yang begitu apik berjudul “Bunda” sebagai berikut:

Bunda, relakan anakmu melangkah
tak salah arah
kalau nanti arah menjauh
biar hati menunjuk ke arah pulang.

bunda, relakan hati
anakmu melangkah!
(Catatan Zulia, hal. 60)

Zab Bransan mantan anak muda yang pernah merasa hidup di era tahun 1980-an, kini merasa banyak kehilangan pada era zaman modern yang dikenal dengan “era milenial”. Adat dan istiadat telah hilang tergerus zaman. Pengaruh modernisasi telah mengalami pergeseran pada tatanan adat istiadat dalam masyarakat. Adat istiadat telah hilang ditelan zaman. Seperti tambo (bedug) yang hampir punah, hampir tidak dikenali lagi oleh anak muda zaman sekarang. Zab Bransah sangat merindukannya, agar semua itu kembali lagi seperti pada masa mudanya. Hal tersebut Zab Bransah ungkapkan dalam puisi bertajuk “Tambo” berikut:

Lama sudah kerinduan padanya untuk
diperdengarkan kembali
nyanyian subuh untuk membangunkan kita
nyanyian para petani dan nelayan
pada tiap saat berbunyi sebagai pertanda.
(Catan Zulia, hal. 36)


Mahdi Idris (kiri) dan Hamdani Mulya (kanan)

Begitulah sehimpun sajak Catatan Zulia ditulis sebagai sebuah ungkapan hati Zab Bransah. Sebagai sebuah catatan, layaknya seperti sebuah monumen sastra tanah air, yang akan selalu dikenang sepanjang masa. Sebagai saksi hidup seorang penyair Zab Bransah bahwa ia pernah lahir dan singgah di dunia ini, untuk menjadi tamadun dunia sastra. Begitulah kehidupan sosok sang penulis di alam nyata yang riwayat hidupnya ditulis  untuk dibaca dan menjadi kenangan zaman. Sejarah ditulis, dirawat, untuk diriwayatkan. Nama penulis selalu terukir indah dalam kenangan wajah zaman. Semoga. Demikianlah riwayat ringkas buku karya Zab Bransah. Dari Meureudu menuju kota Langsa kisah ziarah dalam sehimpun sajak Catatan Zulia.
           
                                                                                                Aceh Utara, 18 November 2018


         BIOGRAFI PENULIS ESAI

Hamdani Mulya

Hamdani Mulya adalah nama pena dari Hamdani, S.Pd. Lahir di desa Paya Bili, Kec. Meurah Mulia, Kab. Aceh Utara pada 10 Mai 1979. Alumni Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, FKIP, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Menulis puisi dan artikel pendidikan di beberapa majalah dan surat kabar. Karya Hamdani Mulya dipublikasikan di harian Serambi Indonesia, Kutaradja, Waspada, Haba Rakyat, Majalah Fakta, Santunan Jadid, Warta Unsyiah, Seumangat BRR, Meutuwah Diklat, Khazanah, Jurnal Al-Huda, dan di beberapa website (blog) internet seperti: http://hamdanimulya.blogspot.com.
Puisi Hamdani Mulya juga terkumpul bersama penyair Aceh dan sastrawan Indonesia lainnya dalam antologi puisi Dalam Beku Waktu (2003), Paru Dunia (Saweu Pena Publisher, 2016), Yogja dalam Nafasku (Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta, 2016), Aceh 5:03 6,4 SR (FAM, 2017), dan Gempa Pidie Jaya (Imaji, 2017). Puisi Hamdani Mulya yang berjudul “Rindu dalam Damai di Bawah Payung Cinta” menjadi puisi favorit bagi juri dalam acara lomba menulis puisi “Damai dalam Sastra” yang diselenggarakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Unsyiah dan menjadi puisi kategori puisi terbaik juara I tahun 2003.
Pak Hamdani, panggilan akrab penulis kota Belahan Sungai Lhokseumawe ini. Sejak tahun 2006 sampai 2018 menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan bertugas sebagai guru Bahasa Indonesia di MAN kota Lhokseumawe. Kadang-kadang mengasuh mata kuliah yang sama di STAIN Malikussaleh Lhokseumawe berstatus sebagai dosen luar biasa dari tahun 2005 sampai tahun 2011. Sejak tahun 2018 sampai sekarang bertugas sebagai guru bidang studi Bahasa Indonesia di SMAN 1 Lhokseumawe.
Buah pikirannya tentang sastra, bahasa, dan pendidikan juga menjadi bahan rujukan skripsi mahasiswa STAIN. Pada tahun 2005 Hamdani Mulya diundang oleh Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas. Untuk ikut serta dalam seminar nasional guru seluruh Indonesia di Bogor. Karena cerpennya yang berjudul “Nahkoda Pelabuhan Air Mata” masuk dalam finalis lomba mengarang cerpen tingkat nasional. Di ajang inilah ia berguru dan belajar menulis puisi beberapa saat kepada sastrawan nasional terkemuka Taufiq Ismail dan Sutardji Calzoum Bachri.
Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) lain yang pernah diikutinya yaitu: Diklat Penyiaran Radio Baiturrahman FM di Banda Aceh tahun 2002, Diklat Guru Bidang Studi Bahasa Indonesia di Medan tahun 2006, Diklat Pra Jabatan PNS di Sigli tahun 2006, dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di Lhokseumawe tahun 2007.
Hamdani juga telah membacakan beberapa puisi yang ditulisnya di beberapa kota seperti Lhokseumawe, Sigli, Banda Aceh, dan Medan. Kumpulan puisinya yang berjudul “Mengeja Alamat” dibacakan di radio Multi Suara FM Lhokseumawe dan puisinya “Syair Orang Sehat” dibacakan di Radio Republik Indonesia Lhokseumawe. Di samping menjadi guru dan dosen kadang-kadang juga menjadi juri lomba menulis puisi dan cerpen tingkat siswa di Lhokseumawe. Hamdani adalah penulis buku Cerdas  Berbahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Unimal Press Lhokseumawe tahun 2011, Bahasa Indatu Nenek Moyang Ureueng Aceh penerbit Afkaribook tahun 2017, dan novel Pengantin Surga penerbit Magzha Pustaka Yogyakarta tahun 2018.


Foto: Penulis Hamdani Mulya (kiri), Ananda tersayang Qais Zhafran Mulya, ananda Keisha Elsria Mulya (tengah), dan Istri tercinta Sri Wahyuni, S.Pd.I (kanan).









Kamis, 15 November 2018

Esai Sastra

Gempa dalam Puisi Sastrawan Indonesia Membuka Tabir Aceh 5:03 6,4 SR

Oleh Hamdani Mulya
Penulis esai dan puisi
Puisi sebagai karya sastra yang mengandung nilai estetika (keindahan). Juga dapat dijadikan sebagai dokumenter sejarah peradaban manusia. Adakalanya puisi juga merekam bencana seperti gempa dan tsunami. Puisi yang dimaksud terhimpun dalam buku antologi puisi berjudul Aceh 5:03 6,4 SR. Buku kumpulan puisi sastrawan nusantara tersebut yang menjadi editornya adalah Sulaiman Juned, dkk.
IMG_20170829_112223.jpg
Sastrawan yang terkumpul dalam buku yang menarik ini datang dari berbagai penjuru nusantara mengungkapkan rasa simpatinya untuk warga Pidie, Pidie Jaya, dan Bireuen yang terkena efek gempa yang meruntuhkan ratusan bangunan dan memakan korban puluhan jiwa.
Buku itu diawali dengan sebuah judul puisi Duka di Tanah Rencong ukiran manis karya Abdul Hamid yang datang dari Tanah Datar, Sumatera Barat. Ia datang dengan segenap jiwanya melalui puisinya tersusun rapi pada larik-larik berikut:
di pelipis mata jauh, sebening kaca
entah, jauh melayang hilang
dalam endapan rasa
Allah
kami melihat tangis
kami menyaksikan pilu...
kami merasakan duka, dengan
air mata jatuh ke jiwa
Tanah Datar, Desember 2016
Buku yang menggugah hati pembaca ini diterbitkan oleh Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia, Jawa Timur. Memuat 197 puisi karya penulis nusantara.
Sulaiman Juned sastrawan asal Aceh sekaligus editor bersimpati lewat puisi berjudul Aceh: Subuh 5.03, 6,4 SR seperti terungkap dalam bait berikut:
di waktu
subuh. Tak ada yang bisa
mengukur waktu. Hanya
Allah yang tahu segala rencana. Di tanah
tempat Abi mencari hidup kita harus bersahabat dengan gempa, nak
maka, bersiaplah
...
Pekan Baru, 07 Desember 2016
Sementara itu, Hamdani Mulya penulis asal tanah Pasai, Aceh Utara merekam jejak gempa dalam puisi bertajuk Aceh Menangis dalam Isak Tak Terkira yang menggugah hati dan menggetarkan dunia pada bait berikut:
Toko dan rumah ambruk bersama penghuninya
Di subuh yang masih gulita
Aku kabarkan duka tentang bayi
Kerabat kita yang tertimbun tanah yang rata
Aceh menangis dalam isak tak terkira
Ketika anak-anak, ibu-ibu, dan orang tua
Harus tidur berselimut angin di tenda-tenda
Berderai gerimis hujan air mata
ketika Aku lihat mereka berselimut duka
Di tanah Aceh, bumi aulia
Aceh Utara, 19 Desember 2017
Itulah isi buku yang layak dibaca oleh pecinta dan penikmat sastra dalam kancah sastra tanah air. Sulaiman Juned, dkk selaku editor buku ini mengungkapkan bahwa nilai estetika dan pesan moral adakalanya bersatu menjadi catatan atas peristiwa yang mendera sebuah wilayah, dan penyair menjadi juru berita atas realita yang ada. Realitas musibah, kerugian harta benda, korban jiwa, dan tangis para korban. Demikianlah para penulis berkisah dalam desah nafas yang panjang, berkisah desah nafas tanah rencong yang diruntuhkan oleh gempa.
Allah mengirim surat kepada hamba-Nya, surat yang tak tertulis, tetapi tersirat maknanya dalam peristiwa gempa yang menggetarkan dunia.
IMG20170520125934.jpg
Foto: Hamdani Mulya

Rabu, 14 November 2018

Puisi-Puisi Hamdani Mulya


Puisi-puisi Hamdani Mulya

Hamdani Mulya

Tangis Leuser
Leuser menangis dalam isak tak terkira
Mendesah karena pohon yang tumbang
dan ranting dicincang
Sungai yang dulu biru, gemercik airnya bertalu-talu,
Kini bercampur debu dan serbuk kayu
Lalu bandang  datang menyapu.

Kita rindu pada hutan rimbun
Seperti mimpi-mimpi burung yang dulu
bernyanyi di sarangnya
Sambil menatap sungai jernih di pagi hari,
Berdiri di ranting dan pohon
yang dulu indah itu.

Ayo, mari merawat hutan negeri ini
sebagai rasa syukur atas karunia Ilahi.
Aceh Utara, 20 Mei 2017

Cut Nyak Dhien       
Rinduku pada Cut Nyak
Laksana gerahku pada mata air
Mengumbar selaksa cinta
Yang aku tanam lewat
Curahan kasihmu di igauanku.

Betapa aku telah jadi bara
kagum padamu, Cut Nyak
Dalam detak jantungku  
Menyirat cinta yang anggun

Aku anakmu yang selalu bersenandung merdeka
Pada jejak tanah yang telah kauperjuangkan
Mengetam segala rindu padamu.
Aceh Utara,  26 Juni 2016

Perempuan Bermata Rencong
Perempuan bermata rencong itu
Laksamana Malahayati
Adalah perempuan perkasa
Dari Blang Padang
Berselempang pedang
Bersemangat baja.

Perempuan bermata rencong  
Laksamana Malahayati
Adalah perempuan gagah
Dari Serambi Mekkah
Yang berpeluh memeluk senjata,
Penjajah gentar menghadapinya.

Laksamana Malahayati
Ini negerimu bahagia
Merah putih berkibar
Di jagat Indonesia.
Aceh Utara, 26 Juni 2016

Hamdani Mulya adalah nama pena dari Hamdani, S.Pd. Lahir di desa Paya Bili, Kec. Meurah Mulia, Kab. Aceh Utara pada 10 Mei 1979. Ia adalah alumni Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, FKIP, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah).
Menulis puisi dan artikel pendidikan di beberapa majalah dan surat kabar, seperti Serambi Indonesia, Kutaradja, Waspada, Haba Rakyat, Majalah Fakta, Santunan Jadid, Seumangat BRR, Jurnal Al-Huda, dan lain-lain. Karyanya juga dapat ditemukan dalam antologi bersama penyair Aceh, antara lain Dalam Beku Waktu. Ia aktif mengelola blognya http://hamdanimulya.blogspot.com.

Hamdani Mulya (kiri) dan Dr.Wildan, M.Pd (kanan) 
Pakar Bahasa dan Sastra Indonesia