Esai Sastra
RINDU TANAH
KELAHIRAN DALAM SAJAK
CATATAN ZULIA
KARYA ZAB BRANSAH
Oleh Hamdani
Mulya
Buku
antologi puisi (sehimpun sajak) berjudul Catatan Zulia boleh disebut
sebagai sebuah karya yang lahir dari hasil perjalanan sang musafir penyair Zab
Bransah. Mahdi Idris selaku editor buku ini menulis dalam pengantarnya Catatan
Zulia; Membaca Sajak Kerinduan memaparkan bahwa puisi merupakan bentuk karya
sastra yang menggunakan kata-kata indah dan kaya makna. Keindahan sebuah puisi
disebabkan oleh diksi, majas, rima, dan irama yang terkandung dalam karya
sastra tersebut. Puisi menggunakan bahasa yang ringkas, namun maknanya sangat
kaya. Kata-kata yang digunakan adalah kata-kata konotatif, yang mengandung
banyak penafsiran dan pengertian.
Penyair
Zab Bransah adalah nama pena dari Zakaria, M.Pd. anak dari pasangan Bapak Ali
Basyah Bransah dan Ibu Siti Maryam. Lahir pada 6 Juli 1964, di sebuah desa
kecil Blang Cut, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Zab Bransah
seorang penyair yang hidup sering berpindah-pindah tempat sejak menempuh
pendidikan dan melaksanakan tugas sebagai seorang guru tentu harus melakukan
hijrah ke berbagai daerah. Ia juga kerap kali melakukan ziarah ke berbagai
tempat. Lawatan-lawatan tersebut Zab Bransah lakukan untuk tujuan pendidikan
dan tugasnya sebagai guru sekaligus sebagai seorang penyair.
Dorongan
menulis puisi muncul dalam diri seorang penyair tidak datang begitu saja dari
dunia tak dikenal, akan tetapi datang dari sebuah pengalaman yang dihayati
secara total. Pengalaman yang dimaksud adakala disebut sebagai pengalaman
puitik, yang sumbernya berasal dari pengalaman fisik maupun dari pengalaman
metafisik dalam pengertian yang seluas-luasnya (Soni dalam Zab Bransah,
2018:vii).
Hal tersebut
menjadi sebuah acuan bahwa begitupun puisi-puisi yang ditulis Zab Bransah dalam
buku Catatan Zulia merupakan hasil dari sebuah perjalanan yang panjang dan
berliku. Dari hasil perenungan yang mendalam Zab Bransah menuangkan berbagai
pengalaman hidupnya dalam sajak-sajak yang ditulisnya. Puisi yang terhimpun
dalam buku ini berjumlah enam puluh sajak. Ia tulis dalam rentang waktu yang
panjang, sejak tahun 1986-2018. Beliau tulis sejak belia, ketika duduk di bangku
kuliah, sampai usianya menjelang senja yang kini memasuki 54 tahun tetap istiqamah
menekuni dunia menulis puisi.
Zulia
adalah metafora yang digunakan Zab Bransah untuk seseorang yang ia rindukan, ia
cintai, sekaligus yang ia benci. Siapakah sebenarnya sosok Zulia yang
dikisahkan dalam puisi-puisi yang ditulisnya? Itulah pertanyaan yang pernah
saya lontarkan kepada Zab Bransah. Ia menjawab “Zulia adalah metafora, kiasan,
Zulia adalah sosok siapa saja yang mencintai perdamaian, sosok yang merindukan
persaudaraan, Zulia itu gambaran rindu, cinta, dan kasih sayang antar sesama
manusia. Persaudaraan dan perdamaian yang dirindukan oleh semua orang.”
Antologi
sehimpun sajak Catatan Zulia merupakan gambaran rindu, cinta, dan
keprihatinan pada tanah kelahiran. Suasana dilema perasaan batin sang penyair
yang ia ungkapkan dalam larik-larik yang puitis dan menggugah perasaan para
pembaca. Perasaan kerinduannya pada tanah kelahiran Zab Bransah tuangkan dalam
sebuah puisi berjudul “Pulang 1” sebagai berikut:
Langkahku malam
ini
merindukan kembali
pada tanah kelahiran
jalan masih
panjang menapaki diri
pada malam-malam
semakin menepi pada janji
menyambutku kembali.
(Catatan
Zulia, hal.5)
Zab Bransah penyair kelahiran Meureudu, Pidie Jaya, yang bertugas sebagai seorang guru di MAN 1 Langsa yang jauh dari kampung halamannya. Kadang kala mengalami gejolak batin, mengalami rasa kerinduan yang membuncah akan tanah kelahirannya. Rindu itu ia ungkapkan dalam sajak-sajaknya, sehingga rindu itu pun terobati dengan sajak sebagai pengobat rindu, Catatan Zulia.
Zab
Bransah sebagai seorang anak yang berbakti kepada ibu-bapa, ia pun sering
merindukan orang tuanya di kampung halaman. Segenap doa selalu ia curahkan demi
ibunda tercinta. Begitupun harapan akan keberhasilan dalam mengarungi lembah
kehidupan selalu ia memohon restu dari sang Ibunda Siti Maryam. Seperti yang ia
ukir dalam puisi indah goresan pena yang begitu apik berjudul “Bunda” sebagai
berikut:
Bunda, relakan
anakmu melangkah
tak salah arah
kalau nanti
arah menjauh
biar hati
menunjuk ke arah pulang.
bunda, relakan
hati
anakmu melangkah!
(Catatan
Zulia, hal. 60)
Zab Bransan mantan anak muda yang pernah merasa hidup di era tahun 1980-an, kini merasa banyak kehilangan pada era zaman modern yang dikenal dengan “era milenial”. Adat dan istiadat telah hilang tergerus zaman. Pengaruh modernisasi telah mengalami pergeseran pada tatanan adat istiadat dalam masyarakat. Adat istiadat telah hilang ditelan zaman. Seperti tambo (bedug) yang hampir punah, hampir tidak dikenali lagi oleh anak muda zaman sekarang. Zab Bransah sangat merindukannya, agar semua itu kembali lagi seperti pada masa mudanya. Hal tersebut Zab Bransah ungkapkan dalam puisi bertajuk “Tambo” berikut:
nyanyian subuh
untuk membangunkan kita
nyanyian para
petani dan nelayan
pada tiap saat
berbunyi sebagai pertanda.
(Catan Zulia,
hal. 36)
Begitulah
sehimpun sajak Catatan Zulia ditulis sebagai sebuah ungkapan hati Zab Bransah.
Sebagai sebuah catatan, layaknya seperti sebuah monumen sastra tanah air, yang
akan selalu dikenang sepanjang masa. Sebagai saksi hidup seorang penyair Zab
Bransah bahwa ia pernah lahir dan singgah di dunia ini, untuk menjadi tamadun
dunia sastra. Begitulah kehidupan sosok sang penulis di alam nyata yang riwayat
hidupnya ditulis untuk dibaca dan
menjadi kenangan zaman. Sejarah ditulis, dirawat, untuk diriwayatkan. Nama
penulis selalu terukir indah dalam kenangan wajah zaman. Semoga. Demikianlah
riwayat ringkas buku karya Zab Bransah. Dari Meureudu menuju kota Langsa kisah
ziarah dalam sehimpun sajak Catatan Zulia.
Aceh
Utara, 18 November 2018
Hamdani Mulya
adalah nama pena dari Hamdani, S.Pd. Lahir di desa
Paya Bili, Kec. Meurah Mulia, Kab. Aceh Utara pada 10 Mai 1979. Alumni Prodi
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, FKIP, Universitas Syiah Kuala
(Unsyiah). Menulis puisi dan artikel pendidikan di
beberapa majalah dan surat kabar. Karya Hamdani Mulya dipublikasikan di harian Serambi Indonesia, Kutaradja, Waspada, Haba
Rakyat, Majalah Fakta, Santunan Jadid, Warta Unsyiah, Seumangat BRR, Meutuwah Diklat, Khazanah,
Jurnal Al-Huda, dan di beberapa website (blog) internet seperti: http://hamdanimulya.blogspot.com.
Puisi Hamdani Mulya juga terkumpul bersama penyair Aceh dan
sastrawan Indonesia lainnya dalam
antologi puisi Dalam Beku Waktu (2003), Paru
Dunia (Saweu Pena Publisher, 2016), Yogja dalam Nafasku (Balai
Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta, 2016), Aceh 5:03 6,4 SR (FAM, 2017),
dan Gempa Pidie Jaya (Imaji, 2017). Puisi Hamdani Mulya yang berjudul “Rindu dalam Damai di Bawah Payung
Cinta” menjadi puisi favorit bagi juri dalam acara lomba menulis puisi “Damai
dalam Sastra” yang diselenggarakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Unsyiah dan
menjadi puisi kategori puisi terbaik juara I tahun 2003.
Pak Hamdani, panggilan akrab penulis kota Belahan Sungai
Lhokseumawe ini. Sejak tahun 2006 sampai 2018 menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan
bertugas sebagai guru Bahasa Indonesia di MAN kota Lhokseumawe. Kadang-kadang
mengasuh mata kuliah yang sama di STAIN Malikussaleh Lhokseumawe
berstatus sebagai dosen luar biasa
dari tahun 2005 sampai tahun 2011. Sejak tahun 2018 sampai sekarang bertugas sebagai guru bidang
studi Bahasa Indonesia di SMAN 1 Lhokseumawe.
Buah pikirannya tentang sastra, bahasa, dan
pendidikan juga menjadi bahan rujukan skripsi mahasiswa STAIN. Pada tahun 2005
Hamdani Mulya diundang oleh Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah,
Depdiknas. Untuk ikut serta dalam seminar nasional guru seluruh Indonesia di
Bogor. Karena cerpennya yang berjudul “Nahkoda Pelabuhan Air Mata” masuk dalam
finalis lomba mengarang cerpen tingkat nasional. Di ajang inilah ia berguru dan
belajar menulis puisi beberapa saat kepada sastrawan nasional terkemuka Taufiq
Ismail dan Sutardji Calzoum Bachri.
Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) lain yang pernah diikutinya
yaitu: Diklat Penyiaran Radio Baiturrahman FM di Banda Aceh tahun 2002, Diklat
Guru Bidang Studi Bahasa Indonesia di Medan tahun 2006, Diklat Pra Jabatan PNS
di Sigli tahun 2006, dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di Lhokseumawe
tahun 2007.
Hamdani
juga telah membacakan beberapa puisi yang ditulisnya di beberapa kota seperti
Lhokseumawe, Sigli, Banda Aceh, dan Medan. Kumpulan puisinya yang berjudul
“Mengeja Alamat” dibacakan di radio Multi Suara FM Lhokseumawe dan puisinya
“Syair Orang Sehat” dibacakan di Radio Republik Indonesia Lhokseumawe. Di
samping menjadi guru dan dosen kadang-kadang juga menjadi juri lomba menulis puisi
dan cerpen tingkat siswa di Lhokseumawe. Hamdani adalah penulis buku Cerdas
Berbahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Unimal Press Lhokseumawe
tahun 2011, Bahasa Indatu Nenek Moyang Ureueng Aceh penerbit Afkaribook
tahun 2017, dan novel Pengantin Surga penerbit Magzha Pustaka Yogyakarta
tahun 2018.
Foto:
Penulis Hamdani Mulya (kiri), Ananda tersayang Qais Zhafran Mulya, ananda
Keisha Elsria Mulya (tengah), dan Istri tercinta Sri Wahyuni, S.Pd.I (kanan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.