Sabtu, 17 November 2018

Esai Sastra Indonesia


Esai Sastra
RINDU TANAH KELAHIRAN DALAM SAJAK
CATATAN ZULIA KARYA ZAB BRANSAH

Oleh Hamdani Mulya
Mahdi Idris (kiri) dan Zab Bransah (kanan)

Buku antologi puisi (sehimpun sajak) berjudul Catatan Zulia boleh disebut sebagai sebuah karya yang lahir dari hasil perjalanan sang musafir penyair Zab Bransah. Mahdi Idris selaku editor buku ini menulis dalam pengantarnya Catatan Zulia; Membaca Sajak Kerinduan memaparkan bahwa puisi merupakan bentuk karya sastra yang menggunakan kata-kata indah dan kaya makna. Keindahan sebuah puisi disebabkan oleh diksi, majas, rima, dan irama yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Puisi menggunakan bahasa yang ringkas, namun maknanya sangat kaya. Kata-kata yang digunakan adalah kata-kata konotatif, yang mengandung banyak penafsiran dan pengertian.
Penyair Zab Bransah adalah nama pena dari Zakaria, M.Pd. anak dari pasangan Bapak Ali Basyah Bransah dan Ibu Siti Maryam. Lahir pada 6 Juli 1964, di sebuah desa kecil Blang Cut, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Zab Bransah seorang penyair yang hidup sering berpindah-pindah tempat sejak menempuh pendidikan dan melaksanakan tugas sebagai seorang guru tentu harus melakukan hijrah ke berbagai daerah. Ia juga kerap kali melakukan ziarah ke berbagai tempat. Lawatan-lawatan tersebut Zab Bransah lakukan untuk tujuan pendidikan dan tugasnya sebagai guru sekaligus sebagai seorang penyair.
Dorongan menulis puisi muncul dalam diri seorang penyair tidak datang begitu saja dari dunia tak dikenal, akan tetapi datang dari sebuah pengalaman yang dihayati secara total. Pengalaman yang dimaksud adakala disebut sebagai pengalaman puitik, yang sumbernya berasal dari pengalaman fisik maupun dari pengalaman metafisik dalam pengertian yang seluas-luasnya (Soni dalam Zab Bransah, 2018:vii).
Hal tersebut menjadi sebuah acuan bahwa begitupun puisi-puisi yang ditulis Zab Bransah dalam buku Catatan Zulia merupakan hasil dari sebuah perjalanan yang panjang dan berliku. Dari hasil perenungan yang mendalam Zab Bransah menuangkan berbagai pengalaman hidupnya dalam sajak-sajak yang ditulisnya. Puisi yang terhimpun dalam buku ini berjumlah enam puluh sajak. Ia tulis dalam rentang waktu yang panjang, sejak tahun 1986-2018. Beliau tulis sejak belia, ketika duduk di bangku kuliah, sampai usianya menjelang senja yang kini memasuki 54 tahun tetap istiqamah menekuni dunia menulis puisi.
Zulia adalah metafora yang digunakan Zab Bransah untuk seseorang yang ia rindukan, ia cintai, sekaligus yang ia benci. Siapakah sebenarnya sosok Zulia yang dikisahkan dalam puisi-puisi yang ditulisnya? Itulah pertanyaan yang pernah saya lontarkan kepada Zab Bransah. Ia menjawab “Zulia adalah metafora, kiasan, Zulia adalah sosok siapa saja yang mencintai perdamaian, sosok yang merindukan persaudaraan, Zulia itu gambaran rindu, cinta, dan kasih sayang antar sesama manusia. Persaudaraan dan perdamaian yang dirindukan oleh semua orang.”
Antologi sehimpun sajak Catatan Zulia merupakan gambaran rindu, cinta, dan keprihatinan pada tanah kelahiran. Suasana dilema perasaan batin sang penyair yang ia ungkapkan dalam larik-larik yang puitis dan menggugah perasaan para pembaca. Perasaan kerinduannya pada tanah kelahiran Zab Bransah tuangkan dalam sebuah puisi berjudul “Pulang 1” sebagai berikut:

Langkahku malam ini
merindukan kembali pada tanah kelahiran
jalan masih panjang menapaki diri
pada malam-malam semakin menepi pada janji
menyambutku kembali.
(Catatan Zulia, hal.5)

Zab Bransah penyair kelahiran Meureudu, Pidie Jaya, yang bertugas sebagai seorang guru di MAN 1 Langsa yang jauh dari kampung halamannya. Kadang kala mengalami gejolak batin, mengalami rasa kerinduan yang membuncah akan tanah kelahirannya. Rindu itu ia ungkapkan dalam sajak-sajaknya, sehingga rindu itu pun terobati dengan sajak sebagai pengobat rindu, Catatan Zulia.
Zab Bransah sebagai seorang anak yang berbakti kepada ibu-bapa, ia pun sering merindukan orang tuanya di kampung halaman. Segenap doa selalu ia curahkan demi ibunda tercinta. Begitupun harapan akan keberhasilan dalam mengarungi lembah kehidupan selalu ia memohon restu dari sang Ibunda Siti Maryam. Seperti yang ia ukir dalam puisi indah goresan pena yang begitu apik berjudul “Bunda” sebagai berikut:

Bunda, relakan anakmu melangkah
tak salah arah
kalau nanti arah menjauh
biar hati menunjuk ke arah pulang.

bunda, relakan hati
anakmu melangkah!
(Catatan Zulia, hal. 60)

Zab Bransan mantan anak muda yang pernah merasa hidup di era tahun 1980-an, kini merasa banyak kehilangan pada era zaman modern yang dikenal dengan “era milenial”. Adat dan istiadat telah hilang tergerus zaman. Pengaruh modernisasi telah mengalami pergeseran pada tatanan adat istiadat dalam masyarakat. Adat istiadat telah hilang ditelan zaman. Seperti tambo (bedug) yang hampir punah, hampir tidak dikenali lagi oleh anak muda zaman sekarang. Zab Bransah sangat merindukannya, agar semua itu kembali lagi seperti pada masa mudanya. Hal tersebut Zab Bransah ungkapkan dalam puisi bertajuk “Tambo” berikut:

Lama sudah kerinduan padanya untuk
diperdengarkan kembali
nyanyian subuh untuk membangunkan kita
nyanyian para petani dan nelayan
pada tiap saat berbunyi sebagai pertanda.
(Catan Zulia, hal. 36)


Mahdi Idris (kiri) dan Hamdani Mulya (kanan)

Begitulah sehimpun sajak Catatan Zulia ditulis sebagai sebuah ungkapan hati Zab Bransah. Sebagai sebuah catatan, layaknya seperti sebuah monumen sastra tanah air, yang akan selalu dikenang sepanjang masa. Sebagai saksi hidup seorang penyair Zab Bransah bahwa ia pernah lahir dan singgah di dunia ini, untuk menjadi tamadun dunia sastra. Begitulah kehidupan sosok sang penulis di alam nyata yang riwayat hidupnya ditulis  untuk dibaca dan menjadi kenangan zaman. Sejarah ditulis, dirawat, untuk diriwayatkan. Nama penulis selalu terukir indah dalam kenangan wajah zaman. Semoga. Demikianlah riwayat ringkas buku karya Zab Bransah. Dari Meureudu menuju kota Langsa kisah ziarah dalam sehimpun sajak Catatan Zulia.
           
                                                                                                Aceh Utara, 18 November 2018


         BIOGRAFI PENULIS ESAI

Hamdani Mulya

Hamdani Mulya adalah nama pena dari Hamdani, S.Pd. Lahir di desa Paya Bili, Kec. Meurah Mulia, Kab. Aceh Utara pada 10 Mai 1979. Alumni Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, FKIP, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Menulis puisi dan artikel pendidikan di beberapa majalah dan surat kabar. Karya Hamdani Mulya dipublikasikan di harian Serambi Indonesia, Kutaradja, Waspada, Haba Rakyat, Majalah Fakta, Santunan Jadid, Warta Unsyiah, Seumangat BRR, Meutuwah Diklat, Khazanah, Jurnal Al-Huda, dan di beberapa website (blog) internet seperti: http://hamdanimulya.blogspot.com.
Puisi Hamdani Mulya juga terkumpul bersama penyair Aceh dan sastrawan Indonesia lainnya dalam antologi puisi Dalam Beku Waktu (2003), Paru Dunia (Saweu Pena Publisher, 2016), Yogja dalam Nafasku (Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta, 2016), Aceh 5:03 6,4 SR (FAM, 2017), dan Gempa Pidie Jaya (Imaji, 2017). Puisi Hamdani Mulya yang berjudul “Rindu dalam Damai di Bawah Payung Cinta” menjadi puisi favorit bagi juri dalam acara lomba menulis puisi “Damai dalam Sastra” yang diselenggarakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Unsyiah dan menjadi puisi kategori puisi terbaik juara I tahun 2003.
Pak Hamdani, panggilan akrab penulis kota Belahan Sungai Lhokseumawe ini. Sejak tahun 2006 sampai 2018 menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan bertugas sebagai guru Bahasa Indonesia di MAN kota Lhokseumawe. Kadang-kadang mengasuh mata kuliah yang sama di STAIN Malikussaleh Lhokseumawe berstatus sebagai dosen luar biasa dari tahun 2005 sampai tahun 2011. Sejak tahun 2018 sampai sekarang bertugas sebagai guru bidang studi Bahasa Indonesia di SMAN 1 Lhokseumawe.
Buah pikirannya tentang sastra, bahasa, dan pendidikan juga menjadi bahan rujukan skripsi mahasiswa STAIN. Pada tahun 2005 Hamdani Mulya diundang oleh Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas. Untuk ikut serta dalam seminar nasional guru seluruh Indonesia di Bogor. Karena cerpennya yang berjudul “Nahkoda Pelabuhan Air Mata” masuk dalam finalis lomba mengarang cerpen tingkat nasional. Di ajang inilah ia berguru dan belajar menulis puisi beberapa saat kepada sastrawan nasional terkemuka Taufiq Ismail dan Sutardji Calzoum Bachri.
Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) lain yang pernah diikutinya yaitu: Diklat Penyiaran Radio Baiturrahman FM di Banda Aceh tahun 2002, Diklat Guru Bidang Studi Bahasa Indonesia di Medan tahun 2006, Diklat Pra Jabatan PNS di Sigli tahun 2006, dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di Lhokseumawe tahun 2007.
Hamdani juga telah membacakan beberapa puisi yang ditulisnya di beberapa kota seperti Lhokseumawe, Sigli, Banda Aceh, dan Medan. Kumpulan puisinya yang berjudul “Mengeja Alamat” dibacakan di radio Multi Suara FM Lhokseumawe dan puisinya “Syair Orang Sehat” dibacakan di Radio Republik Indonesia Lhokseumawe. Di samping menjadi guru dan dosen kadang-kadang juga menjadi juri lomba menulis puisi dan cerpen tingkat siswa di Lhokseumawe. Hamdani adalah penulis buku Cerdas  Berbahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Unimal Press Lhokseumawe tahun 2011, Bahasa Indatu Nenek Moyang Ureueng Aceh penerbit Afkaribook tahun 2017, dan novel Pengantin Surga penerbit Magzha Pustaka Yogyakarta tahun 2018.


Foto: Penulis Hamdani Mulya (kiri), Ananda tersayang Qais Zhafran Mulya, ananda Keisha Elsria Mulya (tengah), dan Istri tercinta Sri Wahyuni, S.Pd.I (kanan).









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.