Jumat, 12 Agustus 2016

Tsunami dan Perdamaian dalam Rekaman Puisi

TSUNAMI DAN PERDAMAIAN
DALAM REKAMAN PUISI

Oleh Hamdani, S.Pd.
Guru MAN Lhokseumawe


1. Tsunami dalam Rekaman Puisi
“Tsunami Begitu Elok Namamu“, demikianlah sebuah puisi yang berjudul begitu apik, namun tak seelok namanya, amuk tsunami mengerikan. Sebuah puisi yang ditulis oleh Damiri Mahmud bercerita tentang tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 yang terkumpul dalam antologi puisi Lagu Kelu, diterbitkan oleh Aliansi Sastrawan Aceh (ASA) tahun 2005. Puisi selain bagian dari genre (jenis) sastra ternyata juga menjadi rekaman dokumenter sejarah peradaban manusia. Penyair mencatat dan menuangkan berbagai tragedi yang memalukan dan memilukan dalam puisinya. Lalu, puisi jadilah barang antik dan klasik yang menjadi bahan referensi bagi para penulis dan penikmat sejarah dalam sastra.
Selain Damiri Mahmud adalah Herman RN penyair asal Aceh Selatan yang mencatat tsunami lewat puisi yang berjudul “Laut berzikir” (Harian Aceh dan blog Gemasastrin, 2009). Dengan puisi tersebut Herman berpesan bahwa tsunami merupakan suatu teguran buat manusia, berarti Allah masih sangat menyayangi hamba-Nya. Bagi yang masih hidup, tentunya dapat mengambil pelajaran dari bencana dunia tersebut sehingga lahirnya perdamaian di tanah Aceh. Lain dari itu, Arafat Nur  penyair dan novelis yang berdomisili di Lhokseumawe ini, merekam tsunami lewat puisi yang bertajuk “Perahu Nuh Itu Masih Ada“ (Lagu Kelu, 2009).
Masih dalam ikon sastra nasional, penyair sekaligus pendiri komonitas Aliansi Sastrawan Aceh (ASA) Doel Cp Allisah menuangkan tragedi kemanusiaan yang menggugah hati nurani dunia ini lewat puisi berjudul “Ingatan” (puisi lomba Porseni Depag 2006 di Banda Aceh dan dalam Lagu Kelu) yang khusus didedikasikan kepada korban tsunami Aceh. Kisah tsunami dipaparkan Doel Cp lewat larik-larik berikut: Apa yang tersisa dari semua kenangan tentang kalian/ selain air mata dan doa kami yang tak putus-putus ?  
Demikian pun, penyair dari belahan sungai Lhokseumawe Hamdani Mulya menyampaikan rasa simpati dan keprihatinan kepada korban tsunami lewat puisi yang berjudul “Mengeja Alamat 1“. Seperti terbaca jelas pada baris-baris berikut: Dian telah padam pada nyanyian burung-burung/ terhanyut tsunami/ ribuan nyawa melayang sepanjang laut dan sungai “krueng” Aceh… kami kehilangan…. Puisi “Mengeja Alamat 1” telah dibacakan di Radio Citra Multi Suara Lhokseumawe, tahun 2005. Lain daripada itu, Hamdani Mulya merekam tsunami dengan puisi “Sajak Secangkir Air Mata” (ASA, 2009) yang ditulis di pendakian gunung Seulawah Aceh, pada Desember 2005. Terukir pada larik-larik berikut: Secangkir air mata/ Kutuang dalam gelas kaca warna perak/ tak sebanding denganmu/ kan tinngalkan satu kenangan dalam rimba luka. Masih banyak puisi lainnya yang tulis oleh Hamdani Mulya yang berkisah tentang tsunami seperti puisi yang berupa suara keprihatinan penyair yang terkumpul dalam Lagu kelu.

2. Perdamaian dalam Rekaman Puisi
Selain tsunami yang tak seelok namanya. Para penyair juga berteriak tentang damai lewat puisi dan igauan-igauan mimpi semalam. Lalu puisi menjadi mata air, embun pagi, penyejuk bagi yang kegerahan akan “damai bersulam bahagia, kita semua rindu, rindu kasih rindu damai” demikian tentang damai yang terkoyak Hamdani Mulya menulis lewat puisi “Rindu dalam Damai di Bawah Payung Cinta“ (Wajah Aceh dalam Puisi: 2013),  “Adakah Kedamaian ?” (Waspada, 2001), dan “Keluh Kesah“ (Dalam Beku Waktu: 2002). Selain itu, Rosni Idham penyair asal Aceh Barat merindukan damai lewat ukiran manisnya “Doa Anak Bangsa“ (majalah Tingkap, 2001) terukir indah dengan bahasa yang menggugah perasaan pada larik-larik bait terakhir berikut: Tuhan rindu kami/ pada sejuk semilir yang pernah engkau alir/ Pada bening damai yang pernah engkau semai/ Pada sinar kasih sayang dalam alunan irama tembang/ Pada canda cinta sesama.  
Pada bagian akhir tulisan ini sebuah puisi yang sangat indah. Goresan apik Nurdin F. Joes saya kutip dari antologi Podium karya M. Gade atau dengan nama pena Ade Ibrahim. Kumpulan puisi ini diberikan oleh penyair secara tidak sengaja kepada saya. Dalam sebuah acara diklat guru Bahasa Indonesia di Medan pada Maret 2009. Antologi foto kopi puisi Podium ternyata sangat berguna bagi saya sebagai referensi tulisan ini. Berikut adalah puisi Nurdin F. Joes berbicara tentang damai yang tertera pada sampul antologi Podium. “Rindu adalah tapak-tapak penyair. Melintasi padang yang tak terbatas. Melewati jutaan malam kelam tanpa peta dan alamat serta, menapaki segala peperangan, persengketaan lewat pertempuran-pertempuran. Para penyair, berangkatlah dengan rindu, cinta adalah peperangan: cinta adalah perdamaian.”
Demikianlah ulasan singkat ini kiranya bermanfaat bagi pecinta dan penikmat sastra. Berhubung terbatasnya referensi dalam menulis tulisan ini, maka saya berharap semoga akan lahir seribu pujangga lainnya untuk mencatat sejarah dan perdamain dalam bingkai puisi. Untuk pengembangan sastra dalam kancah sastra tanah air. Saya berharap nantinya akan muncul genre (jenis) esai maupun puisi katagori sastra sejarah atau puisi sejarah dan bukan sejarah sastra yang hanya membicarakan sejarah perkembangan sastra tanah air saja. Melainkan sastra yang mencatat sejarah-sejarah.
Artinya dalam sastra sejarah adalah sastra yang berkisah tentang sejarah nasional, sejarah daerah, dan sejarah dunia. Sastra model ini akan membantu para siswa dan mahasiswa dalam proses pembelajaran sejarah. Misalnya sastra sejarah yang ditulis oleh Taufiq Ismail dalam antologi puisi Tirani dan Benteng bercerita tentang sejarah Orde Baru. Atau seperti Lagu Kelu yang sebagian besar puisi yang terkumpul di dalamnya bertema Tsunami. Itulah yang saya maksud sebagai sastra sejarah. Selamat berkarya. Semoga harapan berubah menjadi kenyataan. Jangan hanya pintar bicara dan “menyanyi “ saja, tetapi juga harus pintar membaca dan menulis.
Saya akhiri tulisan ini dengan puisi Taufiq Ismail yang telah mencatat sejarah lewat puisi. Puisi yang berjudul “Dengan Puisi Aku“. Kiranya  menjadi inspirasi bagi semua orang bahwa betapa puisi telah menjadi saksi sejarah hidup kita. “Dengan puisi aku bernyanyi/ sampai senja umurku nanti/ dengan puisi aku bercinta berbatas cakrawala/ dengan puisi aku mengenang keabadian yang akan datang/ dengan puisi aku menangis jarum waktu bila kejam mengiris….” (Dipublikasikan di majalah Warta Unsyiah edisi Januari 2016).
         


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.