TSUNAMI DAN
PERDAMAIAN
DALAM REKAMAN PUISI
Oleh Hamdani, S.Pd.
Guru MAN Lhokseumawe
Oleh Hamdani, S.Pd.
Guru MAN Lhokseumawe
1. Tsunami dalam
Rekaman Puisi
“Tsunami Begitu Elok Namamu“, demikianlah
sebuah puisi yang berjudul begitu apik, namun tak seelok namanya, amuk tsunami
mengerikan. Sebuah puisi yang ditulis oleh Damiri Mahmud bercerita tentang
tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 yang terkumpul dalam antologi
puisi Lagu Kelu, diterbitkan oleh Aliansi Sastrawan Aceh (ASA) tahun
2005. Puisi selain bagian dari genre (jenis) sastra ternyata juga menjadi
rekaman dokumenter sejarah peradaban manusia. Penyair mencatat dan menuangkan
berbagai tragedi yang memalukan dan memilukan dalam puisinya. Lalu, puisi
jadilah barang antik dan klasik yang menjadi bahan referensi bagi para penulis
dan penikmat sejarah dalam sastra.
Selain Damiri Mahmud adalah Herman RN penyair asal Aceh Selatan yang
mencatat tsunami lewat puisi yang berjudul “Laut berzikir” (Harian Aceh
dan blog Gemasastrin, 2009). Dengan puisi tersebut Herman berpesan bahwa tsunami
merupakan suatu teguran buat manusia, berarti Allah masih sangat menyayangi
hamba-Nya. Bagi yang masih hidup, tentunya dapat mengambil pelajaran dari
bencana dunia tersebut sehingga lahirnya perdamaian di tanah Aceh. Lain dari
itu, Arafat Nur penyair dan novelis yang
berdomisili di Lhokseumawe ini, merekam tsunami lewat puisi yang bertajuk
“Perahu Nuh Itu Masih Ada“ (Lagu Kelu, 2009).
Masih dalam ikon sastra
nasional, penyair sekaligus pendiri komonitas Aliansi Sastrawan Aceh (ASA) Doel
Cp Allisah menuangkan tragedi kemanusiaan yang menggugah hati nurani dunia ini
lewat puisi berjudul “Ingatan” (puisi lomba Porseni Depag 2006 di Banda Aceh
dan dalam Lagu Kelu) yang khusus didedikasikan kepada korban tsunami
Aceh. Kisah tsunami dipaparkan Doel Cp lewat larik-larik berikut: Apa yang
tersisa dari semua kenangan tentang kalian/ selain air mata dan doa kami yang
tak putus-putus ?
Demikian pun, penyair dari
belahan sungai Lhokseumawe Hamdani Mulya menyampaikan rasa simpati dan
keprihatinan kepada korban tsunami lewat puisi yang berjudul “Mengeja Alamat
1“. Seperti terbaca jelas pada baris-baris berikut: Dian telah padam pada
nyanyian burung-burung/ terhanyut tsunami/ ribuan nyawa melayang sepanjang laut
dan sungai “krueng” Aceh… kami kehilangan…. Puisi “Mengeja Alamat 1” telah
dibacakan di Radio Citra Multi Suara Lhokseumawe, tahun 2005. Lain daripada
itu, Hamdani Mulya merekam tsunami dengan puisi “Sajak Secangkir Air Mata”
(ASA, 2009) yang ditulis di pendakian gunung Seulawah Aceh, pada Desember 2005.
Terukir pada larik-larik berikut: Secangkir air mata/ Kutuang dalam gelas
kaca warna perak/ tak sebanding denganmu/ kan tinngalkan satu kenangan dalam
rimba luka. Masih banyak puisi lainnya yang tulis oleh Hamdani Mulya yang
berkisah tentang tsunami seperti puisi yang berupa suara keprihatinan penyair
yang terkumpul dalam Lagu kelu.
2. Perdamaian dalam Rekaman
Puisi
Selain tsunami yang tak
seelok namanya. Para penyair juga berteriak tentang damai lewat puisi dan
igauan-igauan mimpi semalam. Lalu puisi menjadi mata air, embun pagi, penyejuk
bagi yang kegerahan akan “damai bersulam bahagia, kita semua rindu, rindu kasih
rindu damai” demikian tentang damai yang terkoyak Hamdani Mulya menulis lewat
puisi “Rindu dalam Damai di Bawah Payung Cinta“ (Wajah Aceh dalam Puisi:
2013), “Adakah Kedamaian ?” (Waspada,
2001), dan “Keluh Kesah“ (Dalam Beku Waktu: 2002). Selain itu, Rosni
Idham penyair asal Aceh Barat merindukan damai lewat ukiran manisnya “Doa Anak
Bangsa“ (majalah Tingkap, 2001) terukir indah dengan bahasa yang
menggugah perasaan pada larik-larik bait terakhir berikut: Tuhan rindu kami/
pada sejuk semilir yang pernah engkau alir/ Pada bening damai yang pernah
engkau semai/ Pada sinar kasih sayang dalam alunan irama tembang/ Pada canda
cinta sesama.
Pada bagian akhir tulisan
ini sebuah puisi yang sangat indah. Goresan apik Nurdin F. Joes saya kutip dari
antologi Podium karya M. Gade atau dengan nama pena Ade Ibrahim.
Kumpulan puisi ini diberikan oleh penyair secara tidak sengaja kepada saya.
Dalam sebuah acara diklat guru Bahasa Indonesia di Medan pada Maret 2009.
Antologi foto kopi puisi Podium ternyata sangat berguna bagi saya
sebagai referensi tulisan ini. Berikut adalah puisi Nurdin F. Joes berbicara
tentang damai yang tertera pada sampul antologi Podium. “Rindu adalah
tapak-tapak penyair. Melintasi padang yang tak terbatas. Melewati jutaan malam
kelam tanpa peta dan alamat serta, menapaki segala peperangan, persengketaan
lewat pertempuran-pertempuran. Para penyair, berangkatlah dengan rindu, cinta
adalah peperangan: cinta adalah perdamaian.”
Demikianlah ulasan singkat
ini kiranya bermanfaat bagi pecinta dan penikmat sastra. Berhubung terbatasnya
referensi dalam menulis tulisan ini, maka saya berharap semoga akan lahir
seribu pujangga lainnya untuk mencatat sejarah dan perdamain dalam bingkai
puisi. Untuk pengembangan sastra dalam kancah sastra tanah air. Saya berharap
nantinya akan muncul genre (jenis) esai maupun puisi katagori sastra sejarah
atau puisi sejarah dan bukan sejarah sastra yang hanya membicarakan sejarah
perkembangan sastra tanah air saja. Melainkan sastra yang mencatat
sejarah-sejarah.
Artinya dalam sastra sejarah
adalah sastra yang berkisah tentang sejarah nasional, sejarah daerah, dan
sejarah dunia. Sastra model ini akan membantu para siswa dan mahasiswa dalam
proses pembelajaran sejarah. Misalnya sastra sejarah yang ditulis oleh Taufiq
Ismail dalam antologi puisi Tirani dan Benteng bercerita tentang sejarah
Orde Baru. Atau seperti Lagu Kelu yang sebagian besar puisi yang
terkumpul di dalamnya bertema Tsunami. Itulah yang saya maksud sebagai sastra
sejarah. Selamat berkarya. Semoga harapan berubah menjadi kenyataan. Jangan
hanya pintar bicara dan “menyanyi “ saja, tetapi juga harus pintar membaca dan
menulis.
Saya akhiri tulisan ini
dengan puisi Taufiq Ismail yang telah mencatat sejarah lewat puisi. Puisi yang
berjudul “Dengan Puisi Aku“. Kiranya
menjadi inspirasi bagi semua orang bahwa betapa puisi telah menjadi
saksi sejarah hidup kita. “Dengan puisi aku bernyanyi/ sampai senja umurku
nanti/ dengan puisi aku bercinta berbatas cakrawala/ dengan puisi aku mengenang
keabadian yang akan datang/ dengan puisi aku menangis jarum waktu bila kejam mengiris….” (Dipublikasikan di majalah Warta Unsyiah edisi Januari 2016).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.