Gempa dalam Puisi Sastrawan Indonesia Membuka Tabir Aceh 5:03 6,4 SR
Oleh Hamdani Mulya
Penulis esai dan puisi
Penulis esai dan puisi
Puisi sebagai karya sastra yang mengandung nilai estetika (keindahan). Juga dapat dijadikan sebagai dokumenter sejarah peradaban manusia. Adakalanya puisi juga merekam bencana seperti gempa dan tsunami. Puisi yang dimaksud terhimpun dalam buku antologi puisi berjudul Aceh 5:03 6,4 SR. Buku kumpulan puisi sastrawan nusantara tersebut yang menjadi editornya adalah Sulaiman Juned, dkk.
Sastrawan yang terkumpul dalam buku yang menarik ini datang dari berbagai penjuru nusantara mengungkapkan rasa simpatinya untuk warga Pidie, Pidie Jaya, dan Bireuen yang terkena efek gempa yang meruntuhkan ratusan bangunan dan memakan korban puluhan jiwa.
Buku itu diawali dengan sebuah judul puisi Duka di Tanah Rencong ukiran manis karya Abdul Hamid yang datang dari Tanah Datar, Sumatera Barat. Ia datang dengan segenap jiwanya melalui puisinya tersusun rapi pada larik-larik berikut:
di pelipis mata jauh, sebening kaca
entah, jauh melayang hilangdalam endapan rasa
Allah
kami melihat tangis
kami menyaksikan pilu...
kami merasakan duka, dengan
air mata jatuh ke jiwa
Tanah Datar, Desember 2016
Buku yang menggugah hati pembaca ini diterbitkan oleh Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia, Jawa Timur. Memuat 197 puisi karya penulis nusantara.
Sulaiman Juned sastrawan asal Aceh sekaligus editor bersimpati lewat puisi berjudul Aceh: Subuh 5.03, 6,4 SR seperti terungkap dalam bait berikut:
di waktu
subuh. Tak ada yang bisamengukur waktu. Hanya
Allah yang tahu segala rencana. Di tanah
tempat Abi mencari hidup kita harus bersahabat dengan gempa, nak
maka, bersiaplah
...
Pekan Baru, 07 Desember 2016
Sementara itu, Hamdani Mulya penulis asal tanah Pasai, Aceh Utara merekam jejak gempa dalam puisi bertajuk Aceh Menangis dalam Isak Tak Terkira yang menggugah hati dan menggetarkan dunia pada bait berikut:
Toko dan rumah ambruk bersama penghuninya
Di subuh yang masih gulitaAku kabarkan duka tentang bayi
Kerabat kita yang tertimbun tanah yang rata
Aceh menangis dalam isak tak terkira
Ketika anak-anak, ibu-ibu, dan orang tua
Harus tidur berselimut angin di tenda-tenda
Berderai gerimis hujan air mata
ketika Aku lihat mereka berselimut duka
Di tanah Aceh, bumi aulia
Ketika anak-anak, ibu-ibu, dan orang tua
Harus tidur berselimut angin di tenda-tenda
Berderai gerimis hujan air mata
ketika Aku lihat mereka berselimut duka
Di tanah Aceh, bumi aulia
Aceh Utara, 19 Desember 2017
Itulah isi buku yang layak dibaca oleh pecinta dan penikmat sastra dalam kancah sastra tanah air. Sulaiman Juned, dkk selaku editor buku ini mengungkapkan bahwa nilai estetika dan pesan moral adakalanya bersatu menjadi catatan atas peristiwa yang mendera sebuah wilayah, dan penyair menjadi juru berita atas realita yang ada. Realitas musibah, kerugian harta benda, korban jiwa, dan tangis para korban. Demikianlah para penulis berkisah dalam desah nafas yang panjang, berkisah desah nafas tanah rencong yang diruntuhkan oleh gempa.
Allah mengirim surat kepada hamba-Nya, surat yang tak tertulis, tetapi tersirat maknanya dalam peristiwa gempa yang menggetarkan dunia.
Foto: Hamdani Mulya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.