Esai Sastra
LAGU
DI PERSIMPANGAN JALAN
GORESAN
PENA MAHDI IDRIS DALAM SEBUAH TEMBANG PUISI
Oleh Hamdani Mulya
Saya tulis risalah ini sebagai sebuah apresiasi kepada penulis Mahdi Idris, sebagai seorang penulis sekaligus
guru, Mahdi Idris telah menoreh karya yang begitu apik sehingga melahirkan
sebuah buku yang layak dibaca bertajuk Lagu di Persimpangan Jalan.
Dengan lincah dan mengalir deras di atas lembaran buku. Ia sangat lihai
bercerita dengan suka duka, cinta dan air mata, sekaligus rindu akan tanah
leluhurnya Aceh yang sarat budaya serta kearifan lokal yang mestinya dipelihara
dengan baik. Kali ini ia bercerita dengan berpuisi, ya itulah puisi sebuah
karya yang ringkas, namun sarat pesan moral. Dalam beberapa bait saja, jika ide
puisi ditulis dalam bentuk cerpen atau novel mungkin halaman bukunya akan lebih
tebal dan penuh kisah yang panjang.
Lagu di Persimpangan Jalan
sebuah buku terbitan Dinas Perhubungan, Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten
Aceh Utara tahun 2014 ini, diberikan pengantar oleh penulis Teuku Kemal Pasya
yang ia ungkapkan dalam “Berpuisi, Meretas Jalan Sendiri”. Teuku Kemal Pasya
berharap agar lahan kepenulisan Aceh harus tumbuh subur dalam areal menanam
sastra seperti yang ia ungkapkap berikut ini “... di bidang puisi lebih
menyedihkan. Lahan Aceh masih tandus dan rapuh,” Teuku Kemal Pasya prihatin
dengan geliat puisi yang dihasilkan penulis berdarah Aceh kurang produktif.
Hal
tersebut cocok seperti kata-kata Mahdi Idris dalam puisi berikut:
Akulah diri
paling rapuh
Berdiri perkasa
Halau badai
raksasa
Meski kekuatan
tinggal sedepa
(Akulah
Ranting, Mahdi Idris, hal 28)
Atas
keprihatinan Teuku Kemal Fasya di atas, lalu Mahdi Idris berangkat dengan
semangat membara ke ladang satra menampakkan eksistensinya bahwa karya sastra
penulis berlatar Aceh harus tumbuh subur dalam ladang kancah sastra nasional.
Mahdi Idris dengan bukunya ingin menerangkan bahwa penulis Aceh memiliki buku
yang berpotensi bersanding sejajar di rak buku dengan buku-buku nasional
lainnya. Hal tersebut Mahdi Idris ungkapkan dalam puisi “Lagu di
Persimpangan Jalan” terdapat pada bait
berikut:
Ah,
kami siap berangkat kapan saja agar kau mengerti harga diri
Kami
lebih leluasa menciptakan impian dan cinta pada tanah ibu.
Kami
akan menggarap sepetak tanah lagi tanah itu demi anak cucu,
Mengintip
bintang di jendela. Seusai panen, mereka bernyanyi sekeras-kerasnya.
(Mahdi
Idris, hal 21)
Dengan
kehadiran Mahdi Idris dalam kancah sastra tanah air telah menambah literatur
buku karya penulis Aceh dalam katalog Perpustakaan Nasional. Tak pelak, ia
dalam beberapa tahun menghasilkan beberapa buku seperti kumpulan cerpen Jawai
dan Lelaki Bermata Kabut. Mahdi Idris sangat piawai bercerita
melalui buku, karena ia berangkat dari seorang penceramah di masjid, mengajar
di kampus, dan kali ini Mahdi Idris berceramah dalam sebuah buku. Tentu akan
menambah nilai sebagai sosok seorang penulis sekaligus ustaz yang menjadi imam
bagi penulis lainnya dalam menjadikan rujukan buku karya Mahdi Idris.
Dalam
buku Mahdi Idris juga menguak tirai betapa berjasanya Aceh bagi nusantara, Aceh
serupa istri yang begitu setia kepada seorang suami yang bernama nusantara.
Bisa dikatakan bahwa Mahdi Idris merupakan sosok penyair yang nasionalis, namun
ia juga sangat mencintai tanah kelahirannya Aceh yang berjuluk Serambi Mekkah.
Ungkapan batin penyair dapat terbaca pada puisi berjudul “Aceh” pada bait
berikut:
Engkaulah wujud
paling setia menemani kesenjaan
Beribu purnama
telah kugenggam bersamamu
Di atas
hamparan tanah dan air mata yang terpancar
Dari kelenjar
mata berair bermusim waktu
.............................................................
Lalu Mahdi
Idris mengakhiri puisi tersebut dengan larik berikut:
Aceh, adalah
rindu yang menggebu
Tempat memulang
diri pada cinta anak-cucu
Agar kesetiaan
takkan pudar
Sampai segala
cinta melekang diri di dada
(Mahdi
Idris, hal 42-43)
Hal tersebut
senada dengan apa yang dikatakan penyair nasional Cecep Samsul Hari bahwa Mahdi
Idris menulis sajak-sajaknya tanpa pretensi menaklukkan bahasa. Sangat terlihat
bahwa baginya, puisi adalah interiorisasi atas kumpulan pengalaman pribadinya
sebagai hamba Tuhan, sebagai penyair, dan sebagai putra Aceh yang sangat
mencintai tanah kelahirannya.
“Mahdi
Idris tidak saja mengenalkan kita pada kenangan negeri, pun kita diajak pula
dalam percakapannya dengan dengan Tuhan,” ungkap Asrizal Nur penyair asal Depok,
Jawa Barat di sampul belakang buku berwarna putih berlukisan pemandangan alam.
Hal
tersebut dapat dipahami dan ditangkap dari pesan moral yang disampaikan Mahdi
Idris dalam puisi berjudul “Doa” pada bait berikut:
Ya Allah,
akulah jiwa dina antara para abdi
biar sorga
takkan lekat harumnya
namun
persinggahlah sedetik waktu menemui Engkau
memandang-Mu,
sungguh Tuhanku paling azali.
Dan
juga terbaca pada puisi “Malam Tahajjud” pada bait-bait berikut:
Akan kutuai
sebilah kerinduan mencumbui malam
Pada lorong
sunyi antara kerimbunan air mata dan kelakar buta,
Berharap
sebutir embun jatuh dari pangkuan langit
Saat jiwa
menjadi diri paling nista.
Kubakar
mimpi-mimpi bertualang dengan asma-Mu
bila Kau sudi
terima aku sebagai hamba paling dina
antara para
abdi.
Bila telah
Kautulis aku pemilik paling nista
apa yang hendak
kukata pada Engkau selain doa-doa,
terimalah aku
sesaat menjelang ajal tiba.
Sebagai
seorang panyair berlatar pesantren memang rata-rata corak karya yang tulis Mahdi
Idris mengandung pesan religius, itulah yang saya maksud bahwa Mahdi Idris juga
berdakwah dengan buku melalui media puisi dan cerpen.
“Pilihan
diksinya memikat. Mudah dicerna. Bermacam cerita ditulis Mahdi Idris di dalam
puisi-puisinya, dari soal kesunyian diri hingga pencarian Tuhan, “ papar
Muhammad Subhan, penulis novel Rinai Kabut Singgalang, menetap di Pandang
Panjang menilai buku Lagu di Persimpangan Jalan.
“80
puisi penyair Mahdi Idris dalam Lagu di Persimpangan Jalan disampaikan
lewat realitas sosial yang ditangkapnya melalui perjalanan hidup-terkontemplasi
dari proses kemurnian imajinatif lalu mengkritisi kehidupan dengan bahasa
konfiguratif-religiusitas...,” ungkap Sulaiman Juned, penyair, dan dosen
Instititut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang.
Mahdi
Idris menutup dan mengakhiri buku ini dengan sebuah puisi begitu apik sebagai
sebuah monumen sastra, ia ingin namanya abadi bersama puisi yang ia tuliskan
lumayan panjang ini, untuk dikenang sepanjang zaman. Puisi tersebut berjudul
“Sebab Puisi Tak Pernah Mati” pada bait berikut ini.
Pernahkah kau dengar, puisi-puisi melayang tinggi menuju langit,
lalu bersemayam dalam kandil ruh para nabi, atau disiksa karena dosa, wajahnya
dibakar api neraka Jahannam. Tidak bukan? Engkau tak pernah mendengar sebuah
puisi yang tiba-tiba terserang penyakit kronis atau bunuh diri dalam kamar
penyair, dalam buku pelajaran bahasa yang enggan dijamah pelajar, atau dalam
perpustakaan yang semakin jarang didatangi pembaca. Puisi tak pernah mati!
Penyair boleh mati bahkan bunuh diri, sebab kecewa atas
kata-katanya sendiri, atau ditusuk bayonet jelmaan huruf salah ketikan, menebas
kehidupannya bersama kata. Penyair boleh mati, memang, dia akan mati suatu saat
nanti. Sebab dia penyair, bukan puisi. Puisi tak pernah mati!
Puisi tetap hidup! Kadang serupa air, tanah, udara kadangkala
menyerupai karang cadas, tegak menjulang di awan, jelma mercusuar. Kadang kala
menjelma pohon rimbun tempat teduh di padang tandus tapi bukan untuk penulis
puisi. Bukan! Puisi untuk dunia yang anggun atau dunia galau. Puisi tetap
hidup, sampai ia tak lagi dikenal sebagai puisi, tapi coretan tangan seseorang
dalam kesunyian yang menangisi nasibnya.
(Tanah Luas,
2012)
Mahdi
Idris mengungkapkan bahwa puisi tak pernah mati. Ia ingin karya yang ia tulis
selalu dibaca sepanjang zaman, nama Mahdi Idris terus hidup di hati dan jiwa
para pengagum puisi yang ia tulis. Puisi tak pernah mati menurut pandangan
Mahdi Idris, namun puisi akan pudar perlahan-lahan serta layu seiring waktu
yang berputar. Hanya Allah Yang Maha Hidup dan Allah Yang Maha Kekal.
Bagi
para penulis menduduki posisi terhormat di atas mimbar pendidikan. Para penulis
namanya akan abadi sepanjang zaman bersama karya yang ia tulis, meskipun
jasadnya telah terbujur di pembaringan terakhir, karena para penyair juga akan mati.
Namun suatu kehormatan bagi para penulis, ia meninggalkan jejak-jejak sejarah
melalui goresan pena yang ia wariskan melalui buku-buku karya yang ditulisnya.
Semoga. Mahdi Idris sebagai salah satu contoh penulis yang berpandangan jauh ke
depan, ia memiliki cita-cita yang panjang. Seperti yang pernah diungkapkan
Chairil Anwar “Aku ingin hidup seribu tahun lagi” dalam puisi berjudul “Aku”,
namun sayang! Chairil Anwar dipanggil oleh Allah Yang Maha Kuasa pada usia
muda, ia meninggal pada umur 27 tahun. Tetapi karena kegigihan Chairil Anwar
dalam menulis puisi, namanya dan puisi-puisi Chairil Anwar hidup dan masih bisa
dibaca pengagumnya sampai seribu tahun lagi.
“Menulislah
walau hanya beberapa kalimat yang mengandung hikmah dan petuah, yang menjadi
madu bagi pembaca, yang akan diteguk di surga nantinya. Janganlah engkau
menulis kalimat panjang lebar, yang menjadi racun bagi pembaca, racun yang akan
engkau teguk di neraka nantinya,” (Hamdani Mulya).
Demikianlah
risalah ringkas ini, semoga bermanfaat bagi pengembangan karya sastra yang
bercorak religius. Karya sastra sebagai media dakwah yang mengandung pesan dan
petuah. Berdakwah melalui karya sastra. Salam dari Aceh, Serambi Mekkah.
Aceh
Utara, 24 Maret 2020.
Riwayat
Singkat Penulis:
Hamdani
Mulya adalah nama pena dari Hamdani, S.Pd Guru SMAN 1 Lhokseumawe. Pemerhati
bahasa dan sastra, Penulis buku Sajak Secangkir Air Mata (Syair Orang Sehat,
2019). Karyanya dimuat dibeberapa media cetak dan online.